View Full Version
Rabu, 31 Oct 2018

Menyembuhkan Bengkak APBN dengan Sistem Ekonomi Islam

Oleh: Ragil Rahayu, SE

 

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 mengalami defisit sebesar Rp 200,23 triliun hingga akhir September 2018. Defisit ini mencapai 1,35% dari PDB. Salah satu faktor yang menyebabkan defisit APBN adalah pelemahan nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) akibat perang dagang AS-China. Kurs Rupiah dipatok Rp13.400/Dolar AS. Namun ternyata tahun ini Rupiah meluncur ke titik terlemahnya sejak 1998 yakni Rp 15.235/Dolar AS.

Defisit ini tampak mengerikan bagi masyarakat. Angka defisit Rp 200 triliun itu harus ditutup dengan utang baru, atau pencetakan mata uang. Semuanya memiliki risiko yang harus ditanggung dalam jangka panjang. Baik itu beban bunga maupun devaluasi Rupiah. Namun pemerintah tampak "tenang" menyaksikan kondisi ini. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa defisit APBN tak boleh dijadikan isu politik. Defisit ini dianggap wajar karena masih di bawah prediksi pemerintah. Sebelumnya pemerintah menetapkan defisit anggaran untuk tahun berjalan maksimal sebesar 2,19 % terhadap PDB. Jadi angka Rp200 triliun (1,35%) itu masih aman. Bahkan defisit ini lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yakni sebesar Rp 272 triliun.

APBN Rawan Guncang

Sikap tenang pemerintah didasari pemahaman tentang konsep APBN. Indonesia menganut konsep anggaran defisit, yakni belanja lebih besar daripada penerimaan. Konsep ini dianggap realistis karena sering melesetnya target penerimaan pajak. Juga anggaran defisit dinilai mampu mendorong pertumbuhan ekonomi karena belanja lebih besar untuk modal dan investasi. Maka dari tahun ke tahun, APBN indonesia selalu defisit.

APBN surplus (penerimaan lebih besar daripada belanja) justru dianggap melemahkan pertumbuhan ekonomi. APBN defisit dianggap wajar asalkan masih dalam batas aman. Misal rasio utang tidak sampai 60% PDB. Maka dengan rasio utang Indonesia saat ini yang mencapai 30% PDB masih dianggap aman. Padahal realitanya, utang yang besar itu telah membebani rakyat karena target pajak yang terus digenjot demi membayar cicilan plus bunga utang.

Selain itu, bengkaknya APBN dikarenakan melesetnya asumsi kurs Rupiah terhadap Dolar AS. APBN selalu dirancang dengan kurs Rupiah terhadap Dolar AS. Karena setiap perubahan kurs akan berdampak pada komponen APBN. Pada RAPBN 2019, kurs Rupiah dipatok Rp15.000/Dolar AS. Jika Rupiah terus melemah (karena perang dagang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir), asumsi kurs ini tak akan tepat lagi. APBN pun akan bengkak lagi. Kondisi ini menunjukkan rentannya Rupiah terhadap Dolar AS. Setiap perubahan sedikit saja pada Dolar AS pasti berdampak pada APBN Indonesia.

Keperkasaan Dolar AS terhadap Rupiah dan mata uang negara-negara di dunia dimulai ketika AS secara sepihak membatalkan Perjanjian Bretton Woods melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, Dolar AS tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate atau fiat money. Dengan sistem fiat money, Dolar AS mengontrol semua mata uang dunia. Bahkan Yuan yang merupakan mata uang terkuat di Asia saja babak belur menghadapi perang dagang dengan AS. Apalagi Indonesia yang neraca perdagangannya dengan AS defisit, sangat mudah terguncang dengan permainan Dolar AS.

Obat agar APBN Kuat

APBN akan kuat jika memiliki struktur yang stabil dan menggunakan mata uang yang independen (tidak dikendalikan mata uang asing misalnya Dolar AS). Inilah profil APBN khilafah. Struktur APBN Khilafah stabil karena ditopang oleh pos penerimaan maupun belanja yang bersifat tetap karena merupakan hukum syara'.  Besaran nominal tiap pos bersifat dinamis dan ditentukan oleh kepala negara, yakni Khalifah. RAPBN khilafah memang dibuat tahunan namun tidak terpaku pada tahun fiskal. Jika dalam perjalanan butuh penyesuaian, akan dilakukan sesegera mungkin oleh Khalifah. Tanpa menunggu tahun berikutnya. Misalnya ketika terjadi bencana, paceklik atau perang. Khalifah akan segera merevisi APBN untuk memenuhi kebutuhan mendadak tersebut.

Revisi ini bisa dilakukan dengan mudah karena khilafah memiliki sumber penerimaan yang tetap berdasar syariat yakni : 1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan. Jadi khilafah tidak tergantung pada pajak yang membebani rakyat. Sayangnya, ketika tiada khilafah, penerimaan ini tidak bisa diperoleh Indonesia karena sumberdaya alam dikuasai oleh korporasi asing. Sistem ekonomi kapitalis mengesahkan penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya oleh swasta. Akibatnya rakyat dipaksa membiayai sendiri APBN dengan dana pajak.

Khilafah juga mempunyai pos penerimaan tidak tetap yang bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya. Yang termasuk penerimaan insidental adalah pajak (hanya dikenakan pada orang kaya), pinjaman (dalam negeri dan non ribawi) dan sedekah dari kaum muslim.

Selain itu, APBN khilafah disusun dengan mata uang dinar (emas) dan dirham (perak). Pemberlakuan mata uang emas akan menghilangkan dominasi Dolar AS. Dolar tidak dijadikan patokan mata uang dunia. Justru dunia dikondisikan untuk menggunakan emas sebagai standard mata uang.  Dengan demikian Dolar AS tak akan mampu mengatur mata uang khilafah. Justru ketika negara-negara di dunia sepakat menggunakan emas,  Dolar AS tak akan lagi menjadi patokan mata uang.

Tak Cukup Sistem Moneter Islam

Indonesia bisa menjadi negara yang kuat APBN-nya jika menerapkan sistem ekonomi Islam secara kaffah. Bukan hanya sistem moneternya. Sistem moneter Islam tak bisa diterapkan secara parsial. Karena mata uang Islam yakni dinar dan dirham hanyalah salah satu bagian dari sistem ekonomi Islam.

Dinar tidak akan kuat jika ekonomi didominasi asing, negara tergantung pada impor dan praktik ribawi masih menjadi pilar ekonomi. Maka sistem ekonomi kapitalis harus dibersihkan total dari Indonesia dan diganti sistem ekonomi Islam kaffah. Barulah APBN akan sehat wal afiat. Masalahnya, maukah kita, siapkah kita jika praktik ekonomi ribawi ini benar-benar diganti dengan sistem ekonomi sesuai syariat? (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version