View Full Version
Kamis, 25 Apr 2019

Stop Hina Prabowo!

 

Oleh:

Karnali Faisal, Kolumnis

 

ADA isteri artis yang dikabarkan menghina Prabowo di media sosial. Entah apa yang jadi soal sampai muncul hinaan itu. Jika karena tidak setuju Prabowo mendeklaraskan kemenangannya, hinaan itu seharusnya tidak pernah ada.

Deklarasi kemenangan Prabowo punya sebab dan akibat. Bukan semata karena hitungan form C1 di 300 ribu lebih TPS yang memenangkannya. Tapi dampak hasil hitung cepat (Quick Count/QC) yang dirilis persis setelah penghitungan suara dilakukan.

Prabowo yang hanya memperoleh 45% suara dan terpaut 8% dari Jokowi, paham konsekuensi dari dampak hasil hitung cepat tersebut.

Pertama, rontoknya semangat para pendukung karena menganggap hasil Pilpres sudah diketahui yang ditandai kemenangan Jokowi. Lemahnya semangat pendukung ini sangat berbahaya karena proses berikutnya tidak perlu lagi diikuti.

Padahal, pasca penghitungan suara di TPS, proses rekapitulasi suara berjenjang dari kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional tidak kalah krusial.

Kedua, rilis jumlah 300 ribu Form C1 TPS dimaksudkan membuka mata publik bahwa jumlah ini jauh lebih besar ketimbang 5000 sampling TPS yang diambil lembaga hitung cepat dari keseluruhan 800 ribu lebih TPS di seluruh Indonesia.

Metodologi maupun target area sampling mungkin benar, tapi menganggap hasil hitung cepat sebagi acuan kemenangan tentu kurang tepat. Karena itu perlu ada upaya pengimbang sebelum hasil penghitungan manual KPU selesai dilakukan.

Dampak positif dari deklarasi kemenangan Prabowo ini luar biasa. Militansi para pendukung terutama kaum emak-emak bangkit lagi mengawasi proses rekapitulasi suara. Hasilnya, kesalahan input data KPU yang entah disengaja atau tidak, langsung ketahuan. Viral dan diakui KPU.

Tak hanya di medsos, para emak-emak saling berkunjung untuk mengingatkan pentingnya menyimpan bukti digital Form C1. Mereka juga mendatangi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk memastikan Form C1 TPS aman.

Semua pihak harusnya berterima kasih atas militansi para pendukung tersebut. Memastikan bahwa input data KPU benar. Memastikan Form C1 di PPK aman. Memastikan bahwa semua tahapan pemilu berjalan dengan benar.

Bobroknya sistem pemilu Orde Baru karena minimnya partisipasi publik. Rezim saat itu dengan leluasa mengatur skor hasil pemilu demi melanggengkan kekuasaan. Pemilu hanya dimaknai sebagai pembenaran demokrasi, lepas dari soal bersih, jujur dan adil.

Maka hadirnya para pendukung militan yang kebetulan didominasi pendukung Prabowo seharusnya disyukuri. Bukan malah di-bully. Orang-orang yang menghina, mencaci atau mem-bully sejatinya pnya watak yang kurang lebih sama dengan sifat rezim Orde Baru.

Jangan cemaskan Prabowo menerima atau tidak menerima hasil Pemilu. Dua kali ikut kontestasi, Prabowo tetap hadir di acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Bandingkan dengan tokoh-tokoh politik lain yang menolak hadir saat pelantikan presiden dan wakil presiden. Siapa lebih demokratis?**


latestnews

View Full Version