View Full Version
Rabu, 30 Oct 2019

Kemerdekaan Bersuara Dibungkam, Wajah Asli Demokrasi?

 

Penulis : Ummu Azka S.Pd

Untung tak dapat diraih, malang tak mampu ditolak, nampaknya kondisi ini yang sedang dialami beberapa orang abdi negara. Tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena cuitan istrinya di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. (tirto.co.id)

Tidak tanggung-tanggung, suami-suami mereka dicopot dari jabatan masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari. Bukan hanya itu, TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait konten negatif terkait penusukan Wiranto yang diunggah di media sosial.

Peristiwa tersebut,  menambah catatan buruk demokrasi. Terlebih, beberapa kejadian membuktikan, demokrasi yang selama ini dielu-elukan menuai banyak kekecewaan. Beragam aksi masyarakat yang muncul  sebagai reaksi dari kebijakan kontra rakyat, seperti kenaikan BPJS dan  Revisi UU KPK, dianggap angin lalu oleh penguasa.  

Resistensi Demokrasi
Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Pelaksana kekuasaan negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Prinsip demokrasi "Vox populi Vox dei" yang berarti suara rakyat suara Tuhan, menjadi legitimasi untuk memenangkan suara "terbanyak" tanpa pengecualian.

Banyak celah menganga dalam demokrasi. Kekuatan kapital yang saat ini membawa pengaruh besar, menjadi kendali utama bagi terciptanya "suara terbanyak" sesuai dengan keinginan para pemilik modal.
Maka wajar, dibawah tekanan korporasi, rezim saat ini semena-mena membuat legislasi.

Ketika masyarakat sudah mulai sadar akan wajah asli demokrasi, dengan sendirinya resistensi ditampakkan. Antikritik bahkan otoriter adalah wujud nyata ketika demokrasi mengalami ancaman.  UU ITE hanyalah salah satu dari resistensi demokrasi.

Lebih dari itu, beragam upaya dilakukan untuk membungkam siapa saja yang dianggap berseberangan. Seret paksa para lawan politik, hingga sebutan "tumbal" politik bagi mereka yang dianggap terlalu keras dalam mengkritisi kebijakan penguasa. Para mahasiswa yang dikabarkan hilang pasca aksi dan ditemukan tewas tanpa ada kejelasan adalah contoh real dari buruk rupa demokrasi. Jika demikian, kepada siapa lagi rakyat berharap?

Islam Satu-satunya Harapan
Menciptakan pemerintahan yang kuat dan sehat adalah harapan kita sebagai masyarakat. Untuk itu, Islam memiliki pandangan yang khas.
Dalam Islam , pemerintah adalah pihak yang diberikan amanah untuk mengurusi rakyatnya. Menjalankan hukum Syara' sebagai aturan tertinggi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah jaminan bagi terciptanya pemerintahan yang sehat , bersih, dan terbuka terhadap nasihat rakyatnya. 

Rasulullah–shallallâhu ’alayhi wa sallam- pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:

«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

Kalimat afdhal al-jihâd dalam hadits tersebut menunjukkan secara jelas keutamaan mengoreksi penguasa, menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang berbuat zhalim.

Kisah Khalifah Umar bin Khattab bisa menjadi contoh yang nyata. Pada saat itu, salah satu kebijakan Khalifah Umar adalah membatasi Mahar Nikah. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Maksud penetapan tersebut agar menikah menjadi mudah.
Keputusan itu ditentang oleh seorang wanita pemberani. Dia tidak setuju dan mengutip  ayat Qur'an :

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’:20)

Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya, beliau berkata :  “Wanita ini benar dan Umar salah,”

Begitulah semestinya penguasa bersikap. Sudah saatnya kita mengembalikan harapan memiliki pemimpin idaman, bersama dengan sistem yang ideal. Semuanya bukan lagi khayalan, jika Islam diterapkan. Wallahu alam bishshowab. (rf/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version