View Full Version
Sabtu, 16 Nov 2019

Suicide Bom Mapolrabes Medan; Kenapa Polisi Rentan Menjadi Target Serangan Teror?

[Catatan singkat Harits Abu Ulya - Pengamat Terorisme & Intelijen]

Ada indikasi pelaku terkait dengan jaringan simpatisan ISIS.

Dikabarkan semalam telah melakukan bai'at mati untuk melakukan serangan. Dan masih perlu elaborasi lagi untuk menyingkap siapa dan apa dibalik aksi teror ini.

Muncul juga spekulasi lainnya. Terduga pelaku adalah karyawan ojek online (ojol) korban rekayasa paket bom.

Publik berharap aparat berwenang bisa membongkar seterang-terangnya dan produk yang layak di kosumsi publik segera di rilis untuk menghindari hoaks dan spekulasi liar yang kontraproduktif.

Kali ini publik bisa saja mengkritisi aparat kecolongan, alasannya cukup rasional; sudah banyak yang ditangkap dalam beberapa bulan terakhir. Tapi masih juga ada aksi teror.

Ada BIN, BAIS, BNPT, Intelkam Polri, Densus88,dll mereka ada payung UU, ada anggaran, SDM, teknologi canggih, deteksi dini idealnya berjalan maksimal agar bisa lakukan langkah antisipasi bahkan pre-emptif.

Kenapa polisi atau markas polisi jadi fokus target? Ya itu siklus dendam.

Mungkin Terkait dengan tindakan polisi sebelumnya terhadap kawanan mereka. Di anggap menjadi penghalang tujuan dan misi mereka atau dianggap telah berbuat tidak manusiawi terhadap kawan mereka yang tertangkap.

Pada konteks ini, dalam kajian terorisme kita bisa meminjam pendekatan metode analisa yang tepat agar paham kenapa selama ini aparat keamanan wabil khusus polisi atau markas polisi jadi target kekerasan atau teror dari segelintir atau sekelompok orang.

Kita bisa menggunakan Framework Rasional, metodologi ini mengkaji korelasi antara teroris dan sasaran dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik kepentingan dan pola interaksi diantara keduanya.

Dalam Framework ini teroris dan sasaran terornya diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis. Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka.Strategis dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.

Jika "Framework kultural" berasumsi nilai menghasikan tindakan, tindakan sangat tergantung persepsi dan pemahaman (ideologi) yang dimiliki teroris.

Dengan framework ini semata akan berdampak parsial memahami terorisme dan menyeret publik kepada profil teroris dan tindakan terornya semata sementara sasaran teror di abaikan. Dampak turunannya adalah solusi yang temporer dan parsial.

Sementara framework rasional berasumsi kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan teror. Frame ini mengharuskan mengkaji terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak;teroris dan sasaran teror.

Meski resiko logisnya penggunaan metodologi ini akan di anggap analisis yang obyektif dan rasional atau dianggap sebagai simpatisan teror karena manganalisa secara kritis sasaran teror, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban”.

Penggunaan Framework rasional penting karena mampu menjawab dua hal penting; kondisi yang memunculkan dan kondisi yang meredam terjadinya teror.

Dari sini kita paham, bahwa dendam telah menjelma menjadi "ideologi" yang menstimulasi aksi teror dari beberapa person atau entitas. Dendam menjadi determinasi plus di bumbuin dengan doktrin teologi yang beku bersenyawa untuk menghasilkan legitimasi aksi nekat teror.


latestnews

View Full Version