View Full Version
Selasa, 19 Nov 2019

Kebijakan Publik yang Tepat untuk SDA

 

Oleh

Ainul Mizan*

 

INDONESIA sebagai negeri yang kaya raya akan ketersediaan SDA (Sumber Daya Alam), membutuhkan kebijakan publik yang tepat dalam pengelolaannya. Tentunya di samping untuk kesejahteraan masyarakat, juga bertujuan agar SDA itu tidak punah dan menimbulkan bencana.

Kebijakan publik di dalam pengelolaan SDA ini harus memperhatikan faktor kepemilikan dan karakteristiknya. Dari aspek kepemilikan, SDA merupakan kepemilikan bersama rakyat negeri ini. Konsekwensinya tidak boleh dilakukan swastanisasi dalam bentuk apapun, misalnya atas nama investasi. Prinsipnya ketika SDA itu milik rakyat, tentunya negara mengembalikan hasil pengelolaannya untuk pelayanan bagi rakyat, syukur - syukur kalau bisa secara cuma-cuma. Kalaupun ada biaya yang dikenakan, itu sifatnya sebagai kompensasi atas biaya produksi yang dikeluarkan negara di dalam pengelolaannya.

Jadi sesuatu yang diberikan negara dari pengelolaan SDA kepada rakyatnya mestinya berbasis pelayanan. Pelayanan terbaik untuk rakyatnya. Hal ini tentunya akan berbeda orientasi ketika sebuah korporasi diberikan hak untuk mengelola SDA. Produk pengelolaan SDA akan dijual kepada rakyat selaku pemiliknya dengan menggunakan prinsip ekonomi kapitalistik yakni pengorbanan kecil dengan memperoleh untung sebesar - besarnya. Walhasil, rakyat mau tidak mau harus mendapatkan komoditas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan harga berapapun. Di sinilah potensi terjadinya pengambilan untung yang manipulatif.ya wajar karena korporasi itu asasnya sebagai lembaga bisnis.

Adapun dari aspek karakteristik SDA. Sesungguhnya karakteristik SDA bisa dikelompokkan menjadi 2 (dua) karakteristik.

Pertama, bahwa SDA itu ada yang keberadaannya itu sebagai milik bersama dan menghalangi siapapun untuk memonopolinya. SDA yang memenuhi karakteristik tersebut meliputi api, air dan padang gembalaan.

SDA berupa api yakni sebagai sumber energi. Di dalam konteks api ini meliputi BBM (bahan bakar minyak), gas bumi, dan termasuk batubara.

SDA berupa air meliputi sungai, lautan, telaga dan lainnya serta semua kekayaan alam yang dikandung di dalamnya.

Sedangkan SDA berupa padang gembalaan.itu meliputi hutan dan kekayaan alam yang dikandungnya.

Kedua, SDA yang jika keberadaannya melimpah ruah maka statusnya adalah milik bersama rakyat. Sebaliknya, jika SDA tersebut sedikit, tentunya tidak akan menjadikan masyarakat bersaing dan berebut di dalam mendapatkannya.

Contoh dalam hal ini adalah tambang garam di dalam bumi. Jika keberadaannya melimpah layaknya air yang mengalir, maka itu menjadi milik umum.

Begitu pula bahan tambang yang lain misalnya tambang emas dan perak di Tembagapura, Papua. Keberadaannya jelas melimpah. PT Freeport Mc Moran tatkala mengajukan perpanjangan kontrak pengolahan hingga puluhan tahun. Ini menjadi salah satu bukti bahwa tambang emas dan tembaga di Papua adalah milik bersama rakyat.

Adapun di sebagian masyarakat ada yang bermata pencaharian sebagai pendulang emas. Keberadaan logam emas dalam mendulang relatif sangat sedikit. Fenomena seperti ini bukanlah sebuah tambang. Hanya yang berupa bahan tambang saja yang menjadi milik rakyat.

SDA yang melimpah di Indonesia harusnya linear dengan tingkat kesejahteraan penduduknya. Artinya, ketersediaan dana yang cukup dari SDA ini akan bisa digunakan untuk mengkover semua kebutuhan rakyat, termasuk lancarnya pembangunan semua fasilitas layanan publik.

Oleh karena itu perlu ada perumusan yang komprehensif mengenai kebijakan publik dalam mengelola SDA. Pengelolaan SDA menjadi hak negara dengan memilih 3 langkah yakni, negara itu mempunyai kewenangan untuk mengembalikan hasil pengolahan SDA ke masyarakat. Sebagai contoh, menggratiskan BBM di SPBU yang bertebaran di seantero negeri. Bisa juga mengenakan biaya yang terjangkau dan murah untuk mengkover kebutuhan produksinya.

Selain itu, negara bisa menjual hasil olahan SDA untuk mendapatkan dana yang mencukupi guna melakukan pembangunan fasilitas layanan masyarakat.

di samping itu, negara bisa melakukan pemagaran terhadap sebagian komoditas SDA, misalnya hutan. Negara boleh melakukan pemagaran pada sebagian hutan yang ada. Hutan yang dipagar bisa digunakan untuk hutan produksi. Dengan demikian akan ada suntikan dana yang langgeng guna mengkover kebutuhan masyarakat.

Sedangkan di dalam proses pengelolaannya, negara bisa mendatangkan ahli dan alat berat yang canggih dari teknologi baru. Untuk mendatangkan ahli tentunya dengan akad ijaroh. Adapun terkait peralatan canggih yang didatangkan dari luar, dalam hal ini akadnya adalah meminjam. Bukan lantas korporasi menjadi tirani bagi negara. Korporasi menawarkan investasi di saat alat berat mereka dibutuhkan negara.

Dengan demikian, negara bisa mandiri di dalam pengelolaan SDA nya.

Di samping itu, negara harus menyiapkan tenaga - tenaga yang profesional guna melakukan upaya pengelolaan SDA. di sinilah dibutuhkan adanya lembaga dan proses pendidikan yang mampu mencetak tenaga - tenaga yang seimbang antara penguasaan Iptek dan Imtaqnya.

Akhirnya, semoga dengan kebijakan sedemikian atas SDA yang melimpah mampu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berkemandirian untuk terbebas dari utang. Yang sejatinya utang luar negeri menjadi alat untuk mengintervensi kebijakan - kebijakan internal Indonesia oleh para kreditur tersebut.*Penulis guru tinggal di Malang, Jawa Timur


latestnews

View Full Version