View Full Version
Kamis, 21 Nov 2019

Saat Presiden Marah Soal Impor Cangkul, Ada Apakah?

 

Oleh: Tri Silvia 

 

"Apakah tidak bisa didesain industri UKM kita? Kamu buat pacul. Tahun depan saya beli ini puluhan ribu, ratusan ribu cangkul yang dibutuhkan masih impor. Apakah negara kita yang sebesar ini industrinya yang sudah berkembang benar, pacul cangkul (saja) harus impor?" tegas Jokowi dengan nada tinggi. Itulah sepenggal pernyataan bapak Presiden saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tahun 2019 di Gedung Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta. (m.kumparan.com, 6/11).

Dengan kebutuhan pasar yang relatif besar, seharusnya urusan cangkul bisa diprioritaskan untuk dipenuhi sendiri dengan bantuan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang telah ada. Bapak Jokowi menjelaskan bahwa impor memiliki banyak efek negatif disamping kepraktisan dan harga yang murah. Salah satu efek negatif tersebut adalah meningkatnya defisit neraca perdagangan, yang katanya telah mencapai USD 160 juta pada September 2019 lalu. Oleh karena itu, Presiden berpesan agar produk-produk dalam negeri harus terus digenjot, guna mengurangi impor, yang kemudian akan menekan defisit neraca perdagangan dan membuka lapangan pekerjaan baru.

Apa yang disampaikan oleh bapak Presiden di atas adalah hal yang benar dan harus dilakukan. Tapi, tidak hanya pada produk cangkul itu saja seharusnya. Banyak produk-produk lain yang Indonesia ternyata masih harus impor dari negara luar. Tak jauh-jauh ke urusan teknologi atau penerapannya, lihat saja pada isi dapur. Ternyata banyak juga barang di sana yang masih saja impor. Daging, garam bahkan beras pun masih impor. Kenapa? Apakah Indonesia kekurangan lahan pertanian untuk menanam beras? Ataukah Indonesia kekurangan supply pantai untuk menghasilkan garam yang berkualitas? Atau apakah para petani ternak masih kurang jumlahnya untuk menghasilkan daging untuk konsumsi rakyat?

Jika kita tilik dari data yang diberikan, ternyata impor cangkul ini tak main-main jumlahnya, berdasarkan data yang dilansir detikcom (8/11) dari BPS (Badan Pusat Statistik) bahwa impor cangkul sepanjang Januari-September 2019 adalah senilai US$ 101,69 ribu dengan total berat 268,2 ton. Jumlah yang sangat banyak, karena begitu banyaknya sampai-sampai ada yang mengkonversikan cangkul-cangkul tersebut jika dijajarkan ternyata bisa menutupi 1,5 kali luas lapangan GBK (Gelora Bung Karno) sebagaimana dilansir oleh cnbcndonesia.com (11/11).

Wajarlah jika Presiden merasa kesal dengan impor komoditas tersebut. Tapi ternyata impor barang-barang yang lain pun tidak kalah jumlahnya dengan impor cangkul. Semisal garam, Kementerian Perdagangan mencatat realisasi impor garam sampai dengan akhir Oktober 2019 mencapai 2,2 juta ton. Angka realisasi ini lebih rendah dari total yang ditargetkan sepanjang tahun 2019, yakni sebesar 2,7 juta ton (tempo.co, 5/11).

Adapun impor beras pada akhir tahun 2018 adalah sejumlah 2,14 juta ton (cnbcndonesia.com, 31/1/2019). Jumlah impor komoditas-komoditas ini ternyata berada jauh di atas jumlah impor cangkul yang sedang dipermasalahkan. Lalu, kenapa hanya impor cangkul saja yang diungkap dan dipermasalahkan ke khalayak umum? Kenapa semua produk yang selama ini menjadi komoditas impor yang sebenarnya masih bisa diusahakan untuk diproduksi secara mandiri tidak diangkat ke permukaan?

Terkait masalah impor (jual beli), Islam telah memiliki aturan, yang aturan tersebut telah diaplikasikan oleh Kekhilafahan setelah masa Rasulullah saw dan para sahabat. Jual beli hakikatnya adalah boleh sebagaimana yang disampaikan dalam Alqur'an yang artinya, "... Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS. Al-Baqarah : 275)

Hukum jual beli sendiri adalah mubah atau boleh. Namun ketika telah berhubungan dengan luar negeri, maka Islam memiliki aturan yang lebih detail tentangnya. Sebab permasalahannya bukan hanya perihal jenis komoditas yang diperjualbelikan, melainkan juga terkait dengan pemilik komoditas ataupun negara asal jual beli ini. Negara kafir mu'ahid dalam hal ini boleh mengekspor barang dagangannya ke dalam Daulah Islam sesuai dengan klausul perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini berbeda dengan negara kafir yang memiliki niat untuk memerangi kaum muslimin. Selain itu, masalah ekspor-impor juga mencakup berbagai masalah lain yang berhubungan dengan ketersediaan komoditas dalam negeri serta kemampuan Daulah dalam mengolah sumber daya alam yang ada guna mencukupi komoditas yang diperlukan.

Berbagai permasalahan ekspor-impor yang harus diperhatikan di atas merupakan sebuah usaha proteksi yang dilakukan Khalifah untuk melindungi rakyatnya. Bukan hanya untuk melindungi stabilitas ekonomi, namun juga untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Islam akan mewujudkan swasembada pada berbagai komoditas yang memang bisa diproduksi secara mandiri.

Pembatasan impor pada komoditas yang memang benar-benar mendesak untuk diadakan yang bahannya tidak tersedia di dalam negeri. Pengenaan tarif yang setara dengan besaran cukai yang diterapkan negara luar pada Daulah. Dan yang terakhir adalah penerapan sistem mata uang berbasis emas dan perak. Dengan penerapan mata uang berbasis emas dan perak maka kurs valuta akan bersifat tetap, dengan nilai inflasi nol maka defisit neraca perdagangan pun dapat dihindari. Dengan langkah-langkah tersebut di atas, maka semua masalah yang dikhawatirkan akan dapat diselesaikan dengan mudah.

Itulah Islam, aturannya mampu menyelesaikan masalah langsung ke akar-akarnya. Alhasil pemecahan masalah pun tidak bersifat sementara dan parsial, juga tidak akan berbuah masalah yang berpotensi menimbulkan masalah lain yang lebih rumit dari masalah awalnya. Pemerintah hakikatnya harus bersikap tegas dalam menghadapi persoalan impor ini. Tidak hanya komoditas cangkul saja yang dikedepankan, melainkan juga komoditas-komoditas lainnya. Terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan pokok masyarakat. Swasembada harusnya sudah bisa tercapai melihat sumber daya alam negeri yang melimpah ruah. Namun sayang, itu hampir mustahil diwujudkan di alam Kapitalis semacam ini, saat semuanya diukur dengan uang dan pengaturan bisnis. Wallahu A'lam bis Shawab. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah Pengamat Ekonomi Keumatan.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version