View Full Version
Kamis, 20 Feb 2020

Paradigma Penguatan Keluarga: Respon Atas Ancaman Radikalisme

 

Oleh:

Aditya Nurullahi Purnama

Tenaga Ahli Anggota Komisi VIII DPR RI

 

KEPUTUSAN pemerintah untuk menolak pemulangan WNI eks anggota ISIS memberikan sebuah pelajaran penting bagaimana peran keluarga menjadi fundamental dalam menentukan masa depan anak. Kontroversi atas keputusan pemerintah tersebut masih menuai kontroversi. Khususnya pada taraf perlakuan yang terkesan disamaratakan, utamanya pada anak-anak yang menjadi korban atas tindakan gegabah orangtuanya tersebut.

Perlu dipahami bahwa dalam kasus ini, perspektif yang perlu digunakan adalah memposisikan anak-anak tersebut sebagai korban sehingga pendekatan yang perlu dikedepankan dalam memperlakukan anak-anak tersebut bukan dengan pendekatan hukum (law approach) tetapi dengan pendekatan sosial (social approach). Perlakuan dengan kerangka pendekatan sosial mendorong anak-anak ini untuk mendapatkan pendampingan dan pembinaan melalui program pendidikan khusus dengan tujuan deradikalisasi. Selain itu program pendampingan yang dilakukan secara efektif juga akan mengembalikan kesempatan bagi anak-anak ini dalam memperoleh penerimaan di masyarakat dan juga menjadi individu yang lebih baik di masa mendatang.

Kasus diatas memberikan kita satu pemahaman baru bahwa keluarga adalah muara dari permasalahan radikalisme. Keluarga adalah sumber pengetahuan primer bagi anak dalam memahami realitas yang terjadi di sekitar mereka. Perilaku anak di masyarakat adalah refleksi dari pendidikan yang mereka terima dari lingkungan keluarga. Cara berpikir anak dalam melihat fakta sosial juga dilandasi pengetahuan yang mereka peroleh dari orangtua mereka. Sederhananya, input yang positif akan menghasilkan output yang positif, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, dalam memahami radikalisme, kita perlu menyentuh isu ketahanan keluarga sebagai akar masalah dari permasalahan tersebut.

Agenda penguatan keluarga adalah alternatif yang bisa ditawarkan dalam upaya menekan potensi radikalisme pada usia dini. Pendidikan dan pengamalan nilai-nilai kekeluargaan seperti intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas adalah sarana yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat jati diri atau kepribadian anak dalam memahami dan merespon hal baru yang datang dari luar inner circle mereka. Nilai-nilai ini berperan penting sebagai penyaring dan penuntun cara mereka berpikir (mindset) dan berlaku sesuai dengan apa yang telah ditanamkan oleh keluarga mereka melalui proses pendidikan atau madrasah keluarga. 

Ada tiga paradigma penguatan keluarga yang bisa ditawarkan dalam merespon wabah radikalisme. Pertama, paradigma preventif. Cara pandang ini menekankan pada upaya pencegahan anggota keluarga dalam mengonsumsi atau terpapar secara sengaja atau tidak sengaja dengan konten radikalisme melalui sosial media, siaran tv, dan berbagai kanal yang memungkinkan mereka menerima paparan tersebut. Cara pandang ini memang berupaya mengambil jalan paling ekstrem (eksklusif) atau berjarak dengan sumber potensi mengingat paradigma ini menekankan pada usaha untuk meminimalisir bahaya yang belum bisa diukur. Namun, cara pandang ini mendorong anggota keluarga pada level yang sangat waspada bahkan cenderung posesif mengingat mereka memiliki keyakinan bahwa belum tersedia perlengkapan ideologis, seperti pendidikan dan pengetahuan, maupun perlengkapan teknis yang cukup untuk menanggulangi jika salah satu anggota keluarganya nanti ada yang terpapar. Mereka lebih memilih menjauhi potensi sumber ketimbang mengambil resiko yang lebih jauh.

Kedua, paradigma edukatif. Cara pandang ini mendorong anggota keluarga, khususnya Ibu dan Ayah untuk lebih intensif dalam memberikan sosialisasi dan pendidikan kepada anggota keluarga yang lain, khususnya anak dalam membaca fenomena atau realitas di sekitar. Melalui hubungan yang dialogis, mereka menyajikan fakta dan ruang untuk diskusi bersama dalam memaknai sumber, bahaya, dan dampak yang ditimbulkan dari radikalisme dalam kehidupan  sehari-sehari. Melalui cara pandang ini anak diajak untuk berpikir bersama sehingga pemahaman mereka atas radikalisme lebih komprehensif.

Ketiga paradigma mitigatif. Cara pandang ini dilakukan tatkala salah seorang anggota keluarga ada yang mulai terpapar radikalisme. Indikasi tersebut bisa dilihat dari cara pandang yang bersangkutan yang cenderung ekstrem dalam melihat perbedaan di sekitar mereka. Pada titik yang paling ekstrem, bahkan mereka cenderung bersikap menghakimi anggota keluarga yang lain dengan cara yang tidak patut. Maka, hal yang perlu dilakukan adalah menjaga inner circle atau lingkaran anggota keluarga yang lain untuk tidak terpengaruh oleh cara pandang yang ekstrem. Hal yang bisa dibangun adalah menciptakan ruang dialog yang sejuk dan konstruktif seraya tetap mengedepankan rasa kasih sayang agar memperoleh rasa simpatik. Sikap keras perlu disikapi dengan pendekatan yang lembut (soft approach) agar meminimalisir potensi penolakan atau resistensi. Melalui cara pandang mitigatif, potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh virus radikalisme yang sudah menjangkit di dalam anggota keluarga atau inner circle bisa diminimalisir dengan upaya dialog yang mengedepankan soft approach.

Melalui agenda penguatan keluarga dengan berlandaskan pada tiga paradigma diatas, penulis meyakini bahwa usaha tersebut mampu meminimalisir korban anak yang timbul akibat radikalisme di masa mendatang. Selain itu, usaha untuk menciptakan kondusivitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukanlah hal yang sulit untuk terwujud mengingat paradigma ini berusaha untuk menyentuh titik paling inti dari entitas negara, yaitu entitas keluarga. Penguatan keluarga melalui internalisasi nilai yang efektif akan berperan penting sebagai pondasi untuk menciptakan sebuah entitas masyarakat yang kuat dan berilmu, yaitu masyarakat yang mampu berpikir dan berlaku sesuai dengan jati diri bangsa dan tuntunan agama yang benar.*


latestnews

View Full Version