View Full Version
Rabu, 18 Mar 2020

Indonesia Lockdown, Haruskah Langkah Ini Diambil?

 

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Lockdown, jadi kata paling populer hari Ini. Beberapa negara, seperti Italia, Filipina dan Arab Saudi, telah menerapkan kebijakan lockdown. Hal itu dilakukan guna mengurangi penyebaran kasus virus corona atau Covid-19 di negara mereka, termasuk Indonesia.

Banyak Negara terserang virus Covid-19. Nama yang cantik namun mematikan. Negara-negara tersebut setiap harinya mengupdate jumlah korban dari warganya masing-masing. Beda negara beda reaksi dan penanganan. Namun sebagian besar mengeluarkan kebijakan Lockdown.

Berdasarkan kamus Bahasa Inggris, lockdown artinya kuncian. Maksudnya, negara yang terinfeksi virus corona mengunci akses masuk dan keluar sebagai pengamanan ketat untuk mencegah penyebaran virus corona. Lockdown juga dilakukan dengan larangan mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak orang, penutupan sekolah, hingga tempat-tempat umum. Dengan begitu, risiko penularan virus corona pada masyarakat di luar wilayah lockdown bisa berkurang.

Lockdown memiliki arti yang sama dengan isolasi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, isolasi berarti pemisahan suatu hal dari hal lain atau usaha untuk memencilkan manusia dari manusia yang lain.

Lockdown Saatnya Counting Down

Indonesia sendiri negara yang terbilang lamban dalam penanganan. Jika bukan warning WHO dan pemerintah Arab Saudi, bisa jadi presiden Jokowi terus melanjutkan dustanya di hadapan masyarakat Indonesia. Dan di saat beliau mengakui, Virus Covid-19 sudah merajalela. Bahkan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya sebarannya merata dan Solo ditetapkan sebagai KLB Corona.

Bagaimana pemimpin bagaimana pula rakyatnya. Satu bagian masyakarat menuntut lockdown sebab pemerintah masih menerima kedatangan turis asing dengan alasan ekonomi. Pemerintah menutupi data pasien pengidap yang sebenarnya sehingga berujung  pada kepanikan. Harga sembako, masker dan handsanitizer melonjak tak bisa dinalar.

Di daerah banyak terjadi penimbunan barang. Salah satunya, kepolisian pun ikut menjadi penjual masker sitaan. Alasannya guna menstabilkan kepanikan dan juga tidak melanggar UU. Dan sejak hari ini, Senin, 16 Maret 2020 ketika secara serentak seluruh wilayah Indonesia dinyatakan diliburkan untuk anak sekolah dan beberapa instansi pemerintahan fenomena lain muncul, yaitu libur nasional plus pelesir nasional.

Sepertinya masyarakat tak terlalu peduli tentang alasan apa hingga negara di Lockdown. Bandara, stasiun dan terminal sibuk dengan manusia yang keluar dan masuk. Tempat-tempat wisata malah membludak, dibanjiri wisatawan dalam dan luar negeri. Tidak tahukah mereka bahwa sejak Indonesia menyatakan Lockdown maka sejak itu pula kita sedang Counting Down dengan waktu? Kita berburu waktu dengan masa inkubasi Covid-19 selama kurang lebih 14 hari. Setelahnya, entah kejadian apa yang menanti.

Alasan ekonomi masih menjadi alasan terkuat di negeri ini untuk mereka yang menolak Lockdown, sebagaimana pendapat peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Ia menolak apabila Jakarta melakukan lockdown alias isolasi wilayah. Bhima menyebutkan 70% pergerakan uang nasional berada di Jakarta.

Mulai dari bursa efek hingga bank sentral pun berada di Jakarta. Bhima menyimpulkan bahwa langkah lockdown terlalu beresiko, karena aktivitas ekonomi akan berhenti. "70% uang juga berputar di Jakarta, ada bursa efek, ada bank sentral. Terlalu berisiko kalau kita mengambil langkah lockdown," kata Bhima . Skenario terburuk menurut Bhima, bisa saja Indonesia krisis ekonomi apabila Jakarta melakukan lockdown. (detikcom, 15/3/2020)

Benarkah demikian?  

Negara sebagai Perisai dan Pengurus Umat

Di sinilah titik kritis itu terjadi dan harus dicermati, bahwa kita butuh kehadiran negara yang tak sekadar mengumumkan suatu bencana namun kedodoran ketika harus mendahulukan kepentingan kesehatan umat. Faktanya negara lebih disibukkan dengan perolehan ekonomi yang merosot akibat virus ini.

Fungsi negara sebagai perisai dan pengurus umat mandul sebab landasan berpikir mereka bukan syariat, melainkan manfaat. Dimana segala hal yang berhubungan dengan hak masyarakat tidak dipegang sendiri secara langsung namun dilelang kepada investor.

Dibentuklah kebijakan yang pro investor agar menjadi payung kemudahan beroperasi, tak terkecuali ekonomi. Selama ini Indonesia hanya mengandalkan utang dan pajak sebagai kantong pendapatan terbesar, Sehingga rentan jatuh dan bangkrut ketika diguncang bencana maupun isu politik. Kepanikan yang muncul justru bukan bagaimana bisa menyelamatkan rakyat Indonesia dari virus namun bagaimana mengupayakan setiap diri pemodal dan penguasa terhindar dari virus kelaparan dan kekurangan akses ekonomi.

Kebijakan Lockdown dalam Islam

Sungguh! Seharusnya menjadi penyesalan yang mendalam jika kita tetap mempertahankan mekanisme buruk ini. Manusia ditempatkan pada posisi tuhan, mampu mengalihkan takdir sehingga membuat aturan sendiri. Berbeda dengan sistem Islam yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yang senantiasa dibimbing oleh wahyu Allah. 

Kebijakan Lockdown dalam sistem Khilafah jelas akan menerapkan tindakan preventif dan kuratif. Pelayanan cepat, terorganisir dan efektif. Sebab setiap struktur pemerintahan orientasinya adalah kemaslahatan umat.

Preventif diantaranya adalah memastikan hanya makanan halal dan toyyib yang dikonsumsi umat. Mulai dari sisi produksi, distribusi maupun ketika rakyat harus mengaksesnya, semua harus memenuhi kriteria ini. Kemudian penataan kota, tempat tinggal, industri maupun pelestarian alam akan sangat diperhatikan sehingga masyarakat bisa hidup lebih bersih dan tertata. Edukasi tentang pentingnya kesehatan dan lingkungan juga dipehatikan dan dilaksanakan.

Sepanjang yang dikerjakan negara adalah untuk mensejahterahkan rakyat, tak boleh ada alasan ekonomi sebagai alasan kendornya karantina / isolasi suatu wilayah. Apalagi sekadar menjadikan pariwisata sebagai alasan untuk menggenjot pendapatan daerah, sungguh tak masuk akal! Sementara keselamatan rakyatnya menjadi taruhan.

Umar bin Khattab telah memberikan teladan dalam hal ini. Ketika wilayah Syam terserang wabah Tha' un pada tahun 18 Hijriyah, korban dari  kaum muslimin mencapai 25 ribu, termasuk para sahabat diantaranya Yazid bin abu Sufyan, Muaz bin Jabbal, Abu Ubaidah, Syarbil bin khasanah dan Al Fadl Al Abbas. Perintah Umar ketika itu adalah tinggal berpencar dan menghindari mendatangi wilayah tersebut. Isolasi inilah yang akhirnya membawa kepada terselesaikannya masalah ini dan berakhirnya wabah mematikan itu. Indonesia seharusnya mau belajar dari peristiwa tersebut bila serius mau keluar dari wabah Corona ini. Wallahu a'lam bish showab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version