View Full Version
Kamis, 05 Nov 2020

My Faith and My Flag

 

Oleh:

Nuim Hidayat || Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok

 

SEKARANG di Youtube banyak beredar tentang video singkat My Flag. Ada minimal tiga versi yang saya yg amati. Pertama, versi My Flag versus Radikalisme. Versi ini menggambarkan pertarungan antara bendera Merah Putih dan Bendera Laailaaha Illa Lllah Muhammadur Rasuulullah. Pertarungan antara jilbab dan cadar.

Film ini menurut saya kasar. Melawankan Islam dengan nasionalisme dengan cara paksa. Adegan beberapa Muslimah berjilbab merobek cadar seorang Muslimah adalah adegan yang sangat tidak terpuji.

Film kedua, Film My Flag yang mengoreksi film My Flag versus Radikalisme. Film ini bagus. Karena semangatnya persaudaraan. Mereka yang mengibarkan bendera Laa Ilaaha illa Llah mengajak kaum Muslimah yang berbendera merah putih bersama-sama membangun negeri ini.

Film ketiga, My Flag versi merah putih. Di film ini digambarkan anak-anak muda, muslim dan muslimah berjilbab (tidak bercadar) memberi hormat kepada merah putih. Menolong orang miskin dan lain-lain.
Islam dan Nasionalisme
Cinta tanah air adalah sifat alami (fitrah manusia). Kalau kita lama di luar negeri –dalam beberapa bulan saja- kita akan rindu pada kampung halaman kita.
Rasulullah saw juga demikian. Beliau ketika di Madinah, menyatakan rindu untuk kembali ke Mekkah. Maka pada tahun 2 Hijriyah, beliau dengan 10 ribu pasukan, akhirnya kembali ke Mekkah dan membawa Mekkah ke Islam secara damai (Islamisasi Mekkah/Fathul Makkah).

Sebagai Muslim, cinta tanah air kita ada landasan dan tujuannya. Guru Mohammad Natsir, Ahmad Hasan dalam bukunya Islam dan Nasionalisme menyatakan,”Cinta bangsa dan tanah air buat seorang Muslim, ialah mau supaya kaum Muslimin :
1. Maju di dalam pelajaran
2. Maju di dalam perekonomian
3. Maju di dalam pertukangan, dan apa-apa yang berhubungan dengannya dari segala sesuatu yang memajukan kaum Muslimin dan kemakmuran negeri-negeri Muslimin dan mau
a. Supaya Muslimin dan negeri-negerinya, sekurang-kurangnya tidak di bawah derajat lain-ain negeri
b. Supaya diurus negeri-negeri Islam oleh orang-orang Islam sendiri dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang termaktub di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
Lebih lanjut A Hasan menyatakan,”Tidak ada undang-undang manusia dan tidak ada terdapat di hukum-hukum agama, larangan atas seseorang pada mencintai bangsanya dan tanah airnya, malah tidak dilarang dia cinta kepada kerbau dan sapinya, kambing dan anjingnya, arnab dan kucingnya, ayam dan bebeknya, bahkan boleh ia cinta kepada musuhnya.”

Maka sebagian kaum Muslim yang mempertentangkan Islam dan Nasionalisme sebenarnya keliru. Lihatlah para pahlawan Islam kita, mulai dari Teuku Umar, Diponegoro hingga Mohammad Natsir, mereka berjuang untuk memerdekakan tanah air dari penjajah. Semangat Islam, Allahu Akbar, di dada mereka, yang menjadikan mereka menang melawan kezaliman penjajah.

Inilah sebenarnya yang membedakan nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler. Nasionalisme Islam meletakkan Allah dan RasulNya lebih tinggi dari tanah air. Mereka mencintai tanah air, karena menginginkan tanah air ini disirami oleh kebaikan Islam, kebaikan Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad ulama yang shalih.

Sedangkan nasionalisme sekuler meletakkan kepentingan tanah air di atas kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Maka kaum nasionalis sekuler sering salah jalan. Mereka tidak mempunyai pedoman dalam hidup ini. Mereka hanya mengikuti akal dan hawa nafsunya. Sehingga seringkali hawa nafsu itu membuatnya berbuat kerusakan kezaliman. Lihatlah biografi Soekarno yang dianggap mewakili kaum nasionalis sekuler.

Dan lihatlah biografi Mohammad Natsir yang mewakili kaum Nasionalis Islam. Kita akan banyak mengambil pelajaran dan hikmah kehidupan dari kedua tokoh ini. Seperti diketahui, Natsir dan Soekarno sebelum merdeka telah berdebat di media massa tentang bentuk negara seandainya Indonesia merdeka nanti. Soekarno menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler, dan Natsir ingin Indonesia menjadi negara Islami.

Sebagian kelompok Islam, menyatakan bahwa Islam tidak mengenal nasionalisme dengan mengambil kasus terpecahnya Turki Utsmani 1920-an, karena ideologi nasionalisme yang dikembangkan Barat. Memang benar, Barat saat itu menghembuskan perpecahan (nasionalisme) untuk memecah persatuan dan kaum Muslimin di seluruh dunia. Mesir, Arab Saudi dan lain-lain dibanggakan dengan kebanggaan suku Arabnya sehingga memisah dari Turki Utsmani. Di samping juga Barat melakukan politik pelemahan kekuatan umat Islam di dalam Turki Utsmani.

Kini masalahnya umat Islam sudah pecah belah menjadi puluhan negara. Ibarat gelas, ia sudah pecah. Maka untuk menyatukan kembali kaca itu menjadi gelas, maka harus di lem/di las kembali. Tapi untuk merekatkannya kaum Muslim mesti menguasai kaca-kaca gelas yang pecah itu. Maka bagaimana mau membentuk gelas kembali, bila kaca-kaca gelas yang pecah itu yang menguasai kaum Islamofobia?

Maka untuk mengembalikan persatuan umat Islam sedunia, mesti dimulai dari perjuangan kaum Muslim di negerinya masing-masing. Umat Islam harus kembali menguasai negeri-negeri tempat lahirnya atau tempat tinggalnya.

Maka jangan heran, kaum Islamofobia di sini melakukan politik pelarangan nama khilafah dan radikalisme (pelarangan bendera Laailaahaillallah Muhammadur Rasuulullah). Dengan melarang penyebutan khilafah dalam pendidikan, maka kaum Muslim Indonesia menjadi hilang visi besarnya. Menjadi hilang kebanggaannya terhadap sejarah Islam, kekhilafahan Islam, yang telah menyinari Eropa dan dunia saat itu dengan ilmu. Kekhilafahan saat itu memang ada cacatnya, tapi kebaikannya jauh lebih besar dari kecacatannya.

Di zaman globalisasi ini, nasionalisme dan internasionalisme menyatu. Di zaman ini, kita bisa menyebut ‘khilafah Amerika’ yang menguasai dunia. Amerika menyatukan nasionalisme dan internasionalisme. Nampaknya tidak satupun negera di dunia ini, yang Amerika tidak ikut campur. Berdirinya PBB di Amerika, menunjukkan ‘kehebatan dan kebesaran bangsa’ ini.

Maka agar bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang besar, bangsa ini harus mempunyai visi yang besar. Visi mempengaruhi dunia. Visi yang menunjukkan bahwa negeri Islam Indonesia adalah teladan bagi semua bangsa. Dan visi itu mesti pemimpin Islam yang menerjemahkan. Karena hanya pemimpin Islam lah yang memahami ruh Islam. Pemimpin non Islam mungkin bisa membangun masjid dan madrasah, tapi ia tidak merasakan nikmatnya ibadah di masjid dan nikmatnya mencari ilmu di madrasah.

Indonesia dan Turki yang diharapkan memimpin dunia Islam, ketika bangsa-bangsa Arab pemimpinnya kembali ke masa jahiliyah. Bangga dengan kesukuan dan senang perang antar suku.

Islam adalah agama universal. Ia senang dengan persatuan. Ia bisa menyatukan bendera Merah Putih dan Lailaahailla Llah Muhammadur Rasuulullah. Menyatukan nasionalisme dan Internasionalisme.

Pertanyaannya kalau Islam suka persatuan, kenapa kaum Muslimin berpecah? Di sini pesan tokoh Islam Muhammad Natsir perlu direnungkan. Kata Natsir, dalam Al Quran lafadznya adalah Innamal mu’minuuna ikhwatun. Bukan innamal muslimuuna ikhwatun. Jadi hanya kaum mukmin yang bisa bersatu, kaum Muslim mungkin berpecah belah. Karena banyak di dunia ini hanya Islam KTP, Islam keturunan. Jadi kalau kita ingin persatuan Islam, aqidahnya dulu yang dibenahi. Jiwa ketauhidannya dulu yang disadarkan.
Waallahu azizun hakim.* 


latestnews

View Full Version