View Full Version
Rabu, 15 Sep 2021

Alquran dan Musik Tidak Bertemu dalam Satu Hati

DALAM sebuah video viral, anak-anak yang ditengarai sebagai santri penghafal Al-Qur’an menutup telinga mereka lantaran tak mau mendengarkan musik, ketika diputar saat mereka berada di ruang tunggu.

Ironisnya, video yang viral di media sosial itu mendapat cemoohan, komentar nyinyir dari berbagai pihak, baik pejabat dan publik figur. Padahal, orang mencemooh itu notabene beragama Islam.

Bila kita ingin menelaah sedikit saja, apa alasan para santri penghafal Al-Qur’an itu menutup telinga, maka kita akan memahaminya. Sehingga stigma negatif tak akan terlontar kepada mereka. Sebaliknya, justru seharusnya menghargai upaya para santri tersebut.

Pandangan tentang hukum musik dan nyanyian amat panjang dibahas oleh para ulama. Dalil yang mengharamkan musik amat tegas sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari).

Singkatnya, jumhur ulama berpendapat bahwa musik dan nyanyian adalah sesuatu yang terlarang. Meskipun ada yang membolehkan misalnya, nyanyian tanpa musik, nyanyian penggugah semangat dalam beragama, bukan mengandung syahwat dan melalaikan. Nyanyian pada saat tertentu seperti walimah serta hari raya.

Kemudian, seorang penjaga wahyu (penghafal Al-Qur’an) memang sepatutnya membentengi diri dari perkara syubhat apalagi yang haram. Salah satunya adalah nyanyian dan musik. Hal ini, sebagai bentuk upaya mereka menjaga hafalan Al-Qur’an di dada, karena hafalan Al-Qur’an dan musik tak mungkin berada dalam satu hati.

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menguraikan masalah tersebut dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan,

فاعلم أن للغناء خواص لها تأثير في صبغ القلب بالنفاق ونباته فيه كنبات الزرع بالماء ، فمن خواصه :أنه يلهي القلب ، ويصده عن فهم القرآن ، وتدبره ، والعمل بما فيه ؛ فإن القرآن والغناء لا يجتمعان في القلب أبداً ؛ لما بينهما من التضاد ؛ فإن القرآن ينهى عن اتباع الهوى ، ويأمر بالعفة ، ومجانبة شهوات النفوس ، وأسباب الغي ، وينهى عن اتباع خطوات الشيطان ، والغناء : يأمر بضد ذلك كله ، ويحسنه ، ويهيج النفوس إلى شهوات الغي ، فيثير كامنها ، ويحركها إلى كل قبيح

“Ketahuilah bahwa nyanyian mempunyai dampak khusus dalam mencelupkan hati dengan kenifakan dan tumbuhnya dalam hati. Sebagaimana tumbuhnya tumbuhan dengan air. Diantara kekhususannya adalah dia melalaikan hati, menghalangi memahami Al-Qur’an, mentadaburi dan mengamalkannya. Karena Al-Al-Qur’an dan nyanyian, keduanya tidak akan berkumpul dalam hati selama-lamanya. Karena keduanya saling bertolak belakang. Karena Al-Qur’an melarang mengikuti hawa nafasu, menyuruh iffah (menjaga diri), menjauhi syahwat jiwa dan sebab-sebab penyimpangan. Melarang mengikuti langkah-langkah syetan. Sementara nyanyian menyuruh lawannya dari itu semua. Membuatnya seperti baik, menggelorakan jiwa kepada syahwat penyimpangan, sehingga mengeluarkan dari dalamnya, menggerakkan kepada seluruh keburukan.” (Ighatsatul Lahfan, hal I/249).

Maka, tak ada pilihan lain bagi orang yang ingin menjaga kebersihan hatinya, ketika terdengar musik dan nyayian yang melalaikan selain menghindar atau menutup telinga mereka. Bahkan sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah melakukan hal tersebut, Nafi’ –mantan budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,

سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.” Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.” Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.” (HR. Ahmad).

Subhanallah, jadi apa yang dilakukan para santri penghafal Al-Qur’an adalah perbuatan yang benar sesuai contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, bila perbuatan itu dicela, sama saja mereka mencela perbutan sang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Seyogyanya, para pencela itu bertaubat, agar selamat dari adzab atas dosa mereka itu. [Ahmed Widad, Relawan IDC]


latestnews

View Full Version