View Full Version
Rabu, 06 Oct 2021

Kampus Asing Pertama di Indonesia, Penjajahan Pendidikan di Dunia Islam

 

Oleh: 

Muthiah Raihana S.TP, M.P || Pengajar Kewirausahaan di Al-Izzah, Batu

 

KEHADIRAN kampus asing pertama di Indonesia menjadi angin segar untuk dunia pendidikan Indonesia. Monash University Indonesia digadang- gadang  akan mampu membentuk generasi muda yang tangguh, berdaya saing tinggi dengan pengetahuan dan ilmu yang mumpuni. Sehingga mampu bersaing dalam kompetisi global. Cetakan lulusannya diharapkan dapat berkontribusi secara luas terhadap pembangunan di bidang sosial, teknologi dan ekonomi Indonesia.

Terlebih adanya ambisi negeri dalam menyiapkan Indonesia menjadi negara dengan PDB terbesar ke-5 di dunia pada tahun 2045 mendatang. Yang diperkirakan Indonesia akan membutuhkan sekitar 9 juta talenta digital dalam waktu 15 tahun yang akan datang (fin.co.id,05/10/2021).   

Sayangnya, 2.000 mahasiswa yang dapat mendaftar setiap tahunnya di kampus asing ini, harus memiliki kantong yang tebal. Dilansir pada laman detik.com (05/10/2021), Dana yang dibutuhkan sampai lulus yaitu kisaran Rp 312 juta per 72 SKS sampai Rp 416 juta per 96 SKS pada empat jurusan yang ditawarkan.

Padahal kampus yang ada saat ini saja hanya 24,3 juta orang (9%) dari 270 juta penduduk indonesia yang mampu mengakses sampai jenjang perguruan tinggi (cnnindonesia.com, 14/10/2020).

Akses pendidikan berbiaya mahal masih menjadi momok bagi dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Wajar saja, dalam sistem kapitalisme pendidikan adalah salah satu sektor jasa yang masuk dalam perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services). Tercermin pula pada Permendikbud No 92 tahun 2014 tentang syarat penjadi Profesor sesuai pertimbangan Ditjen Dikti yaitu wajib menulis di jurnal internasional bereputasi yang terindeks oleh Web of Science, Scopus, Microsoft Academic Search, atau lainnya.

Kaum intelektual dalam jeratan kapitalisme saat ini tampak  diberdayakan oleh negara untuk memutar roda perekonomian. Desain pendidikan pragmatis menjadikan dunia pendidikan untuk mencetak SDM sebagai pekerja alias buruh. Padahal sejatinya, pendidikan dibutuhkan untuk mencetak generasi unggul berperadaban mulia. Bukan hanya terampil dalam profesinya dan mengejar materi semata.

Kehadiran kampus asing dengan jurusan dan mata kuliah yang ditawarkan lebih mengarah pada kepentingan individualistik yang terpisah dari kepentingan umat dan tidak diajarkan untuk mencapai tujuan yang men-support kejayaan islam. Inilah bukti penjajahan intelektual muslim lewat pendidikan. Potensi intelektual muslim hari ini pada akhirnya sia-sia hanya untuk mengejar materi. Sibuk mencari nilai hingga lupa jati diri, bahwa hidup adalah untuk beribadah mengejar ridho Ilahi Rabbi.

Intelektual harus memahami potensi dan menyadari bahaya keberadaan pendidikan tinggi asing di dunia islam. Berkaca dari peristiwa kehancuran peradaban islam yang pertama. Yaitu ketika kaum muslim mengadopsi staqofah asing dan memandang baratlah yang harus diikuti peradabannya. Maka yang ada, negeri muslim tidak lagi menjadi umat terbaik.

Intelektual muslim harus kembali pada pandangan khas tentang pendidikan dalam islam. Arah pendidikan yang mampu menciptakan kesejahteraan untuk seluruh rakyat sebagaimana dulu peradaban agung itu hadir selama 13 abad yang memayungi 2/3 dunia.     

Tidak bisa dilupakan, bahwa pendidikan pada masa Kekhilafah islam telah berkontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. Hal ini karena mengikuti langkah Rasulullah saw. yang menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan dan hal tersebut menjadi tanggung jawab negara.

Rasulullah saw memberi syarat untuk tebusan tawanan perang Badar yaitu mengajarkan tulis menulis kepada 10 anak kaum muslimin. Apa yang dilakukan Rasul diikuti oleh para khalifah selanjutnya yaitu dengan membangun berbagai lembaga pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi untuk meningkatkan pemahaman umat terhadap agama, sains, dan teknologi.

Tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam yang pernah mencapai puncak kejayaan, seperti Al-Qarawiyyin (859 M—sekarang) di Fez, Maroko; Al-Azhar (975 M—sekarang) di Mesir; Sankore (989 M—sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Dan Nizhamiyah (1067—1401 M) di Baghdad.

Intelektual sebagai problem solver, agent of change dan iron stock dengan berbagai keahlian akan dicetak secara massal oleh negara yang nantinya akan melayani kepentingan vital umat dan menjaga urusan-urusan umat. Seperti Al-Ghazali, Ibnu Ruysdi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Farabi, Al-Khawarizmi, dan Al-Firdausi.

Banyak orang Barat yang belajar di dunia islam ketika itu. Mereka secara bebas menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab – tanpa perlu membayar Hak Cipta. Dalam buku berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006) Pengakuan Wallace-Murphy dinyatakan  “The Wes’st Debt to Islam” atau hutang barat terhadap islam mewakili pujian cendekia barat atas jasa dunia islam yang berhasil mentransfer ilmu pengetahuan dari dunia islam ke barat pada zaman pertengahan (the Middle Ages) yang saat itu eropa menemui masa kegelapan adalah hal yang tak ternilai harganya dan tidak akan dapat pernah terbayarkan kapan pun.*


latestnews

View Full Version