View Full Version
Jum'at, 12 Jan 2024

Utang Banyak, Yakin Aman?

 

Oleh: Fitri Suryani, S. Pd. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, utang pemerintah yang telah mencapai Rp8.041 triliun atau dengan rasio terhadap PDB sebesar 38,11 persen pada November 2023 masih terkendali (Antaranews, 22-12-2023).

Utang luar negeri yang menggunung, tentu tidak dapat dikatakan aman, jika hanya melihat indikator rasio utang terhadap PDB. Sebagaimana yang disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan patokan kesehatan utang bukan hanya indikator rasio utang terhadap PDB, tapi beban bunga utang terhadap total belanja pemerintah yang terus naik. Pun ia mengatakan bahwa pada 2023, rasio bunga utang dengan total belanja pemerintah pusat mencapai 19,6 persen. Jadi, kata Bhima, hampir seperempat belanja itu habis untuk bayar kewajiban bunga utang (Cnnindonesia, 26-01-2023). Wow!

Hampir seperempat belanja pemerintah pusat untuk bayar bunganya saja, belum utang pokoknya. Hal itu tentu begitu miris. Bagaimana tidak, jika anggaran negara lebih banyak untuk membiayai cicilan utang, hal ini akan dapat mengurangi anggaran pelayanan dasar masyarakat. Pun tak menutup kemungkinan subsidi akan dikurangi, bahkan dicabut.

Menyelisik Utang Luar Negeri

Bila menilik soal utang luar negeri yang kini dimiliki negeri tercinta ini, tentu nominalnya tidaklah kecil. Mengingat hal tersebut merupakan beban yang mesti ditanggung oleh seluruh rakyat negeri ini, karena pembayaran utang tak sedikit dari pajak yang mana berasal dari rakyat.

Seperti banyaknya jenis pajak yang mesti ditanggung oleh masyarakat, belum lagi berbagai kebutuhan yang subsidinya makin diminimalisasi, hingga pada taraf tidak ada lagi subsidi.

Selain itu, hal yang  perlu diperhatikan bahkan dipertimbangkan dampak yang akan dihasilkan dikemudian hari tentang utang luar negeri yang kian meroket diantaranya yaitu: Pertama, dampak langsung yang dirasakan dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik pihak pengutang. Kedua, dampak yang sesungguhnya dari utang tersebut yaitu makin minimnya kemandirian akibat terikat atas keleluasaan arah pembangunan, oleh pihak yang mememberi utang.

Di samping itu, dampak buruk dari utang luar negeri, yaitu sebagai salah satu alat penjajahan. Karena sesungguhnya sistem kapitalis meniscayakan utang sebagai jebakan untuk membuka jalan penjajahan negara kapitalis terhadap negara sasaran.

Lebih dari itu, bahwasanya bahaya utang luar negeri di antaranya:

Pertama, utang luar negeri dalam rangka mendanai proyek-proyek milik negara merupakan hal yang riskan, terlebih terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh yakni membuat masyarakat negara tersebut kian sengsara karena ini merupakan salah satu jalan untuk menjajah suatu negara pengutang.

Kedua, pemberian utang adalah sebuah cara agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu.

Ketiga, utang luar negeri yang diberikan sesungguhnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis barat kepada negara-negara yang diberi utang yang mayoritasnya negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik dan ekonomi terhadap negeri-negeri pengutang.

Keempat, utang luar negeri sesungguhnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan negara pengutang, baik utang jangka pendek maupun jangka panjang.

Oleh karena itu, pernyataan utang terkendali dan berdampak positif merupakan pernyataan yang berbahaya, karena utang pada negara lain membuat ketergantungan pada negara asing dan membahayakan kedaulatan negara. Pun dunia akan memberikan penilaian positif terhadapa utang suatu negara, karena paradigma yang dipakai adalah kapitalisme dan makin banyak utang suatu negara, makin untung negara-negara pemberi utang.

Kacamata Islam

Apabila ditinjau lebih dalam, ada beberapa hal yang menjadikan utang luar negeri menjadi batil, di antaranya, utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba. Riba merupakan dosa besar yang harus dijauhi oleh kaum muslim dengan sejauh-jauhnya. Hal itu sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 275, “Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Utang luar negeri pun menjadi sarana timbulnya berbagai kemudaratan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, tingginya harga-harga kebutuhan pokok, termasuk BBM dan sebagainya.

Tak ketinggalan, utang luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis barat dapat mengeksploitasi, bahkan menguasai kaum muslim. Padahal Islam tidak membenarkan negara memberi jalan pada orang kafir menguasai kaum muslim termasuk melalui utang.

Adapun utang yang terkait dengan individu hukumnya mubah, untuk itu setiap individu boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki dan berapa yang diinginkan. Tetapi, jika utang atau bantuan-bantuan tersebut membawa bahaya maka utang tersebut tidak dibolehkan. Sedangkan berutangnya negara, maka hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan.

Negaranya seharusnya mandiri dan sejatinya bisa mandiri, jika pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan tuntunan islam, sebab islam mendorong negara menjadi negara adidaya dan terdepan.

Oleh karena itu, semua utang atau pinjaman dengan segala bentuknya dalam sistem kapitalisme, tentu tidak semata-mata karena hendak membantu negara pengutang, namun mempunyai berbagai motif  baik politik maupun ekonomi. Selain itu, Islam menuntut negara mandiri dan tidak memberi celah penjajahan, dalam hal ini melalui bentuk utang. Olehnya itu tiada jalan lain yang lebih baik untuk mendapat kemuliaan hidup, kecuali hanya dengan penerapan hukum-hukum-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu ‘alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version