View Full Version
Kamis, 30 Jul 2009

Warga Palestina Bangun Rumah dan Masjid Menggunakan Tanah Liat

Warga Palestina di Jalur Gaza makin inventif dalam menghadapi boikot terhadap kawasan tersebut. Sejak perang berkobar awal tahun ini, Zionis Israel tidak mengizinkan import bahan bangunan ke kawasan itu, untuk menyulitkan Hamas.

Tapi Jalur Gaza memiliki dua bahan bangunan: tanah liat dan reruntuhan. Sambil menunggu diawalinya pembangunan resmi, mereka pun membangun rumah dari lempung.

Asosiasi Palestina untuk anak-anak telah menyusun proyek lempung paling ambisius. Di timur kota Gaza 14 pekerja sibuk membangun pusat anak-anak cacat. Selain pusat anak-anak cacat, mereka juga akan membangun masjid, semuanya daritanah liat, plastik daur ulang dan reruntuhan dari ribuan rumah yang dimusnahkan tentara Israel.

Reruntuhan
Tanah liat atau lempung mudah diambil dari tanah dekat tempat bangunan. Tanah yang basah dicampur dengan air dan jerami dalam suatu lubang. "Setelah sepuluh hari dikeringkan di bawah matahari, blok-blok tanah liat itu lebih keras ketimbang beton," ujar insinyur Maher Batroukh, yang memimpin proyek tersebut. "Rumah dari tanah liat lebih baik bertahan terhadap gempa, ketimbang rumah dari beton. Jerami kering yang terdapat di dalam blok menjamin fleksibilitas".

Untuk reruntuhan, para pekerja tidak perlu mencari jauh-jauh. Di daerah tempat kompleks itu dibangun, penuh reruntuhan rumah akibat dihancurkan Zionis laknat yang bisa digunakan untuk pondasi bangunantanah liat. Sekarang, lantai pertama bangunan tanah liat sudah berdiri. Para pekerja sedang sibuk membuat atap tanah liat.

Tiga Lantai
"Kami adalah orang pertama yang menggunakan teknik ini untuk membangun bangunan bertingkat di Gaza ini. Pusat penampungan anak-anak, masjid, semuanya berlantai tiga," demikian kata insinyur Batroukh dengan bangga. "Biasanya saya hanya membangun rumah dari beton dan baja. Dan saya melakukan ini untuk pertama kali. Jika penjajah Israel itu tiba-tiba membuka perbatasan, saya toh akan tetap menyelesaikan bangunan ini. Anda akan melihat hasilnya, pasti akan bagus sekali."

Pembangunan kompleks ini memakan biaya sekitar $190.000 dan dibiayai oleh Yayasan Amal dari Kuwait. Enam bulan lagi, bangunan ini diperkirakan akan selesai.

Bahan Selundupan
Di pasar di kota Gaza, harga beton naik tujuh kali lipat dibanding sebelum perang. Harga kaca dan baja juga melonjak, dan pasokannya juga sangat jarang. Melalui terowongan antara Jalur Gaza dan Mesir, sejumlah kecil bahan bangunan diselundupkan. Namun tentu saja, jumlah ini terlalu sedikit untuk membangun semua rumah.

PBB dan organisasi-organisasi bantuan lain di Jalur Gaza mengikuti perkembangan proyek tanah liat tersebut. Namun PBB tidak terlalu antusias dengan metode pembangunan baru ini. "Semuanya harus dites dulu, bahkan jika mereka menggunakan teknik lama," kata Aiden O'Leary, wakil kepala  UNRWA di Jalur Gaza.Universitas Islam Gaza sekarang sedang meneliti ketahanan blok lempung tersebut.

Kekurangan Tempat Tinggal
"Ini merupakan sumbangan kecil yang bisa mengurangi kekurangan tempat tinggal, namun bukanlah cara penyelesaian yang ideal," ujar O'Leary. Ia terutama bertanya pada diri sendiri, apakah orang-orang Palestina bersedia tinggal di dalam rumah-rumah lempung.

Toh, selama boikot masih berlangsung, tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Sekitar 4.000 rumah hancur karena perang, dan 40.000 lainnya rusak parah. Penduduk Gaza tidak bisa menunggu sampai tes kualitas blok tanah liat  selesai. Mereka butuh tempat tinggal, sekarang juga.

[zq/voa-islam/rnw]


latestnews

View Full Version