View Full Version
Senin, 01 Jun 2015

Pasukan Prancis Berperang Melawan 'Hantu' di Mali

GAO, MALI (voa-islam.com) - Lebih dari dua tahun setelah Operasi Serval yang dipimpin Prancis mendorong kemajuan mujahidin di ibukota Bamako, kelompok-kelompok bersenjata di daerah itu belum mampu lagi melakukan serangan terkoordinasi seperti saat mereka merebut ibukota Mali itu pada 2013 lalu.

Meski demikian, pasukan Prancis yang berbasis di gurun utara tidak ramah Mali tengah dan juga pasukan PBB di negara itu, kini "kena batunya" karena harus menghadapi serangan sergap-lari yang dilancarkan oleh mujahidin yang ahli dalam bergerilya sehingga mereka seperti melawan musuh yang yang tak terlihat - seperti hantu.

"Sejak (operasi) Serval mereka telah mengalami tingkat erosi yang tinggi. Mereka tidak lagi memiliki kebebasan bertindak di lapangan," komandan misi, Kolonel Luc Laine, mengatakan kepada Agence France Presse Sabtu (30/5/2015).

"Mereka tersebar, mereka mengawasi kita, tak terlihat. Aksi mereka terputus-putus, tidak fokus. Tidak ada benang merah."

Tak lama setelah pukul 04:00 pagi pada hari Jumat, sebuah roket ditembakkan dari sebuah dataran tinggi yang menghadap ke kota Gao jatuh pada kamp terdekat yang digunakan oleh misi penjaga perdamaian PBB MINUSMA, tidak menimbulkan korban namun menggarisbawahi bahaya yang selalu hadir.

"Itulah yang sulit. Kami berperang melawan musuh yang tak terlihat," kata Laine, yang di berasal dari komando Resimen Infanteri Marinir ke-21, yang berbasis di Frejus di selatan Perancis.

"Taktik modus operandi mereka adalah serang dan lari. Apa yang sulit adalah bahwa kita tidak pernah melihat mereka, tapi kami tahu mereka mengawasi kita.

"Risikonya adalah bahwa Anda membiarkan pengawal Anda karena, sebagaimana Anda tidak dapat melihat siapa pun, Anda mungkin cenderung percaya bahwa mereka tidak ada. Jadi, Anda menjadi kurang waspada dan karena itu rentan."

Mereka mengawasi kami

"Mereka masih ada, tetapi membaur, secara rahasia. Mereka tidak lagi bisa memimpin operasi tempur besar, tetapi mereka dapat memanfaatkan kurangnya sekecil apapun kewaspadaan.

"Mereka pintar, mereka telah beradaptasi. Mereka menyembunyikan senjata mereka. Jika mereka melakukan perjalanan dengan SUV, tidak pernah dalam konvoi, tapi satu-per-satu.

"Ini sulit bagi kita, untuk membedakan antara pedagang, teroris (baca;mujahid) dan pemberontak Tuareg. Beberapa menawarkan jasa mereka kepada penawar tertinggi. Ini adalah cara hidup bagi sebagian orang di sini."

Ditempatkan dengan sekitar 700 orang di sebuah kota darurat dari tenda dan bangunan beton dekat bandara Gao, Laine mengkomando Western Desert Tactical Group, salah satu dari dua komponen dari misi kontra-terorisme Sahel Prancis, Operasi Barkhane, yang berkantor pusat di Chad.

Pasukan itu berpatroli di wilayah tersebut secara teratur, untuk pengintaian dan sebagai unjuk kekuatan, tetapi Laine tahu bahwa musuh menyadari setiap gerakan mereka.

Mereka hanya benar-benar mampu mengejutkan mujahidin pada operasi pasukan khusus, seperti serangan pada 18 Mei yang membunuh pemimpin jihad kunci Amada Ag Hama, yang dikenal sebagai "Abdelkrim Tuareg". Selebihnya mereka yang kerap menjadi sasaran.

"Kami tahu mereka mengawasi segala sesuatu yang kami lakukan. Segera setelah Anda bergerak, segera setelah kami pergi dari sini, mereka diberitahu," kata Laine kepada AFP.

"Bagi kami itu sangat sulit untuk membedakan antara orang yang menelpon bosnya atau istrinya dan yang menelpon kepala dari kelompok teroris."

Laine mengatakan tujuannya, setelah melihat bagian utara Mali yang mereka rebut kembali pada 2013, adalah agar daerah itu dapat "menjadi wilayah yang ramah sekali lagi".

"Kita harus menghentikan mereka melakukan kembali apa yang telah mereka lakukan pada tahun 2013. Tujuan jangka panjang kami adalah bahwa tentara Mali dan MINUSMA mengambil alih misi ini." (st/AFP)


latestnews

View Full Version