View Full Version
Sabtu, 25 Mar 2017

Myanmar Tolak Keras Penyelidikan PBB untuk Kejahatan Terhadap Muslim Rohingya

YANGOON, MYANMAR (voa-islam.com) - Myanmar pada Sabtu (25/3/2017) menolak keras keputusan dewan HAM PBB untuk menyelidiki tuduhan bahwa para petugas keamanan mereka telah membunuh, memperkosa dan menyiksa Muslim Rohingya, mengklaim penyelidikan itu hanya akan "mengobarkan" konflik.

Badan PBB yang berbasis di Jenewa itu pada hari Jum'at setuju untuk "segera" mengirim misi pencari fakta ke negara Asia Tenggara tersebut, dengan fokus pada klaim bahwa polisi dan tentara telah melakukan kekerasan terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.

Tindakan keras dan brutal militer, diluncurkan pada bulan Oktober setelah jihadis menewaskan sembilan polisi, telah mengirimkan puluhan ribu Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh.

Pelarian tersebut telah memberikan para penyelidik PBB laporan mengerikan tentang para petugas keamanan yang menusuk bayi-bayi hingga mati, membakar Muslim Rohingga hidup-hidup dan melakukan pemerkosaan luas.

Kementerian Luar Negeri Myanmar, Sabtu berhenti sebentar untuk mengatakan mereka akan memblokir penyelidikan yang didukung PBB namun mengatakan itu "telah memisahkan diri dari resolusi secara keseluruhan".

"Pembentukan misi pencari fakta internasional akan membuat lebih banyak, untuk mengobarkan, bukannya menyelesaikan masalah saat ini," klaimnya.

Myanmar sedang melaksanakan penyelidikan sendiri atas kejahatan di Rakhine.

Namun kelompok hak asasi dan PBB telah menolak badan penyelidik Myanmar, yang dipimpin oleh pensiunan jenderal yang saat ini menjadi Wakil Presiden Myint Swe, menyebutnya sebagai ompong.

Tindakan keras terbaru hanyalah konflik terbaru untuk mengepung para Muslim Rohingya, yang ditolak kewarganegaraan dan menghadapi diskriminasi brutal di negara berpenduduk mayoritas Budha.

Lebih dari 120.000 Rohingya telah mendekam di kamp-kamp pengungsian suram sejak serangan kekerasan agama antara Muslim dan Budha merobek negara bagian Rakhine pada tahun 2012.

Kebanyakan dari mereka tidak diperbolehkan untuk meninggalkan perkemahan kumuh, di mana mereka tinggal di tempat penampungan dengan sedikit akses ke makanan, pendidikan dan kesehatan. (st/AFP)


latestnews

View Full Version