View Full Version
Kamis, 28 Feb 2019

Ex-Pejabat Taliban: Tidak Ada Perdamaian di Afghanistan Jika Pemerintah Terus Lakukan Serangan Udara

KABUL, AFGHANISTAN (voa-islam.com) - Kembalinya perdamaian tidak mungkin terjadi di Afghanistan jika pemerintahnya terus melakukan serangan udara yang telah mengakibatkan banyak korban sipil, kata seorang mantan pejabat Taliban.

Dalam konferensi pers di Kabul pada hari Rabu (27/2/2019), Syed Mohammad Akbar Agha, yang saat ini adalah pemimpin Rah-e-Nejat (Dewan Keselamatan Tinggi), mengatakan pemerintah Presiden Ashraf Ghani sedang menyabotase pembicaraan damai yang diadakan di Qatar antara perwakilan Taliban dan pejabat AS.

"Pemerintah tidak menginginkan perdamaian. Mereka masih menargetkan daerah-daerah sipil sambil mengklaim telah menargetkan tempat persembunyian Taliban," kata Agha kepada Al Jazeera, seraya menambahkan bahwa serangan udara sedang dilakukan "hampir setiap hari".

"Kami semua positif tentang perdamaian dan sangat serius, terutama sekarang karena Mullah Abdul Ghani Baradar terlibat langsung dalam pembicaraan di Qatar," katanya.

"Kami mengharapkan hasil positif untuk perdamaian di Afghanistan."

Pejabat Taliban dan Amerika Serikat bertemu untuk hari ketiga pada hari Rabu di ibukota Qatar, Doha, di mana dua masalah utama yang dibahas dalam pembicaraan tingkat tinggi adalah: penarikan pasukan AS dari Afghanistan, dan jaminan bahwa Afghanistan tidak akan digunakan oleh pejuang bersenjata asing.

Pembicaraan telah mendapatkan momentum dalam beberapa bulan terakhir setelah AS memutuskan untuk terlibat dengan Taliban, yang telah melancarkan perjuangan bersenjata mematikan sejak kelompok itu dihapus dari kekuasaan mereka yang sah pada tahun 2001.

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump berusaha untuk mengakhiri perang 17 tahun, yang terpanjang dalam sejarah AS, yang telah menewaskan ribuan orang.

Menurut PBB, setidaknya 32.000 warga sipil telah tewas dan 60.000 lainnya cedera dalam dekade terakhir, ketika organisasi mulai mengumpulkan data.
Kematian warga sipil

Baradar, salah satu pendiri Taliban, menghadiri perundingan di Doha untuk pertama kalinya. Dia adalah perwakilan tingkat tertinggi untuk mengambil bagian dalam negosiasi dengan utusan khusus AS untuk perdamaian, Zalmay Khalilzad.

Taliban telah berulang kali menolak untuk bernegosiasi dengan pemerintah Afghanistan, menyebutnya sebagai "boneka" AS.

"Kami, seperti semua orang Afghanistan, menginginkan perdamaian di negara ini. Taliban sekarang duduk untuk berbicara, yang berarti mereka juga siap untuk perdamaian," kata Agha kepada Al Jazeera.

"Tetapi jika warga sipil yang tidak bersalah terbunuh dengan cara ini dalam serangan udara, mereka tidak akan pernah mempercayai pemerintah dan, pada kenyataannya, akan menentangnya."

Agha, mantan pemimpin sayap Jaish-e-Muslimeen Taliban, berperang melawan pasukan Afghanistan setelah AS menggulingkan pemerintah Taliban pada tahun 2001. Dewannya saat ini terlihat melakukan upaya untuk memulihkan perdamaian di Afghanistan.

Pejabat dari pemerintah Afghanistan tidak segera bersedia bereaksi atas komentar Agha dalam konferensi pers.

Tahun lalu, Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) menyatakan "keprihatinan yang kuat" pada meningkatnya jumlah korban sipil dari serangan udara.

Laporan itu mengatakan serangan udara menewaskan 149 orang dan melukai lebih dari 200 warga sipil pada paruh pertama 2018, naik 52 persen dari periode yang sama setahun sebelumnya.

Di antara insiden mematikan itu adalah yang terjadi di provinsi utara Kunduz pada April 2018, ketika serangan udara Afghanistan menewaskan atau melukai 107 orang, kebanyakan anak-anak pada acara keagamaan. (st/Aje)


latestnews

View Full Version