View Full Version
Ahad, 05 Jul 2009

Menengok Islam di Brunei Darussalam

Saudara, yang segera terbayang dari benak kita jika mendengar perkataan
Brunei Darusalam tentunya adalah nuansa ke-Islaman yang sangat kental di
tengah gemilang kehidupan disana hasil emas hitam yang mengalir tanpa henti
di negeri kecil di Kepulauan Kalimantan tersebut. Penduduk Brunei Darusalam
hanya berjumlah 370 ribu orang dengan pendapatan berkapita sekitar 23,600
dollar Amerika atau sekitar 225 juta rupiah ini, 67 persennya beragama
Islam. Budha 13 persen, Kristen 10 persen dan kepercayaan lainnya sekitar 10
persen. Islam adalah agama resmi kerajaan Brunei Darusalam yang dipimpin
oleh Sultan Hasanal Bolkiah. Sultan Bolkiah mengikrarkan negaranya Brunei
Darusalam sebagai negara Islam-Melayu-Beraja.

Saudara dilihat dari sejarahnya, Brunei adalah salah satu kerajaan tertua di
Asia Tenggara. Sebelum abad 16, Brunei memainkan peranan penting dalam
penyebaran Islam di Wilayah Kalimantan dan Filipina. Sesudah merdeka di
tahun 1984, Brunei kembali menunjukkan usaha serius bagi memulihkan nafas
keislaman dalam suasana politik yang baru. Di antara langkah-langkah yang
diambil ialah mendirikan lembaga-lembaga moden yang selaras dengan tuntutan
Islam. Disamping menerapkan hukum syariah dalam perundangan negara, berdiri
pula Pusat Kajian Islam serta lembaga keuangan Islam. Dosen dari Universitas
Brunei Darusalam, Dr Haji Awang Asbol Bin Haji Mail memberi penjelasan
mengenai peran negara dalam perkembangan Islam.

"Di Brunei memang kerajaan memainkan peranan penting, dia ada satu pusat
dakwah, kita cuba menerapkan falsafah Islam Melayu kerajaan, memang selaras
dengan Islam, memang sudah di buat kemudian di sambung lagi oleh Sultan
Hassanal Bolkiah, mlah setiap keramaian Islam, pegawai2 pekerjaan di
wajibkan datang, di jemput seperti Maulud Nabi, Quran, Isra Mikraj."

Meskipun demikian, langkah mengembangkan Islam dalam sendi-sendi masyarakat
di Brunei dilaksanakan dengan hati hati agar proses itu berjalan seimbang.
Proses pengislaman itu diatur sedemikian rupa hingga tidak memberikan dampak
pada keamanan. Sesudah itu, proses tersebut ditekankan pada bisa pendidikan.
Sementara yang ketiga, kerajaan Brunei Darusalam menegaskan bahwa proses
pengembangan Islam mestilah terjadi keseimbangan antara keperluan duniawi
dan Ukhrawi. Itulah sebabnya, dampak tragedy 11 September tidak begitu
dirasakan di kalangan masyarakat Brunei.

"Kita di Brunei agak sensitif, bukan jenis terbuka, kerajaan tidak mahu kita
membuat benda yang boleh mengancam keselamatan. Kerajaan mempastikan Islam
itu bergerak terus, terutama sekali dalam bidang education. Dalam dakwah2,
kerajaan sudah mengatakan, dalam kita memahami Islam, hanya tidak pada
akhirat, kita mesti melihat dunia juga."

Dr Haji Awang Asbol Bin Haji Mail, dosen Universitas Brunei Darussalam.

Saudara, Secara umum, muslim di Brunei menganut Mazhab Syafiin dalam urusan
Fiqih dan ahlusunnah waljamaah di bidang akidah. Dasar ini sengaja diatur
oleh negara untuk mengelakkan perbedaan pendapat yang mungkin terjadi
dikalangan Muslim Brunei sekiranya pemikiran lain masuk. Sementara itu,
dakwah modern yang digagas oleh aliran tarikat meraih keberhasilan di
Brunei. Dan selaras dengan kedudukan Islam sebagai agama resmi negara yang
menopang falsafah “ Melayu-Islam-Beraja”, kerajaan Brunei Darusalam
mendirikan juga lembaga kajian Islam. Profesor Iik Arifin Mansur Noor,
seorang Indonesia yang mengajar sejarah di Universitas Brunei Darusalam,
menjelaskan hubungan lembaga Islam dan kerajaan, seperti sebuah kehidupan
antara Bapak dan anak.

"Kalau di Brunei ini, memang negara kecil, hidup seperti bapak dengan anak,
kerana kecil mudah di atur, seperti Islamisasi, memperkuat imej negara
Brunei Islam. yang menjadi masalah tentu kadang-kadang orang memaksa simbol
itu sehingga meninggalkan substancenya, seperti kalau kita lihat Universiti
di Brunei, ada faculty of Islamic Studies, jadi digalakkan fakulti-fakulti
ini ada interactions, yang di Islamic studies juga tahu discipline lain,
yang belajar sains juga mengerti apa prinsip2 Islam mengenai sains, di
anggap sebagai satu discourse yang baik bukan dipaksakan."

Salah satu discourse atau perdebatan yang hangat diperbincangkan di Asia
Tenggara adalah mengenai Islamisation of Knowledge atau Islamisasi ilmu
pengetahuan. Idenya adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang ada dimuka bumi
ini ditonjolkan segi ke Islamannya. Pandangan ini memicu perdebatan hangat
karena ada yang mengatakan ilmu yang sesuatu yang netral. Person atau
individu Islamlah yang kemudian mewarnainya hingga tidak perlu lagi ada
cabang ilmu seperti Sosiologi yang di Islamkan dan sebagainya.

"Sebagai satu konsep, bagi saya, pemikir seperti Ghazali, pemikir seperti
Ibn Khaldun, bertanyakan apakah ilmu itu samawi, bagaimana ilmu samawi, ilmu
itu penting bagi Islam, yang menjadi masalah orang Islam
mempertanggungjawabkan sewaktu dia mempelajari ilmu2 ini, bagaimana sebagai
seorang Muslim memahaminya. Islamisasi knowledge itu bukan sesuatu yang
mengejutkan, itu memang selalu ada, untuk memperkaya discourse, wacana
memang perlu, yang menjadi masalah kalau discourse seperti ini dipaksakan,
jangan sampai mengalahkah disiplin2 yang sebenarnya tidak ada masalah dengan
Islam, kalau kita mempelajari biologi, bagaimana seorang itu yang sudah
mencapai ilmu sedemikian rupa, adakah dia akan menginjak. Kalau ingin
menjadi specialist, perlu menjadi specialist dalam biology tapi menjadi
orang Islam yang benar, masalahnya bukan ilmu sociology menjadikan ilmu
Islam, tapi orang yang mempelajari itu, menjadi Muslim yang bertanggung
jawab terhadap ilmunya dan bertanggung jawab terhadap dirinya orang Islam
yang benar."

Beliau bagaimanapun melahirkan kebimbangan kemungkinan pendekatan kurang
terbuka menimbulkan masalah-masalah tersendiri bagi Brunei. Misalnya, orang
mungkin akan lebih memberikan perhatian kepada simbol-simbol, tetapi
meremehkan isu prinsip. Yang menjadi masalah tentu kadang-kadang orang
memaksa simbol itu sehingga meninggalkan substancenya.

Profesor Iik Arifin Mansur Noor, mengatakan perdebatan semacam ini juga
berlangsung di Brunei. Namun yang dilakukan di Universitas Brunei Darusalam,
satu satunya perguruan tinggi di Brunei adalah memastikan bahwa siswa siswa
yang belajar di Pusat Kajian Islam disana berinteraksi satu sama lain dengan
mahasiswa dari fakultas lain, sehingga mereka mendapatkan pandangan yang
komprehensif.

Seperti kalau kita lihat Universiti di Brunei, ada faculty of Islamic
Studies, jadi digalakkan faculty-faculty ini ada interactions, yang di
Islamic studies juga tahu discipline lain, yang belajar sains juga mengerti
apa prinsip-prinsip Islam mengenai sains, di anggap sebagai satu discourse
yang baik bukan dipaksakan."

Dengan model pendidikan ini, maka perdebatan mengenai Islamisation of
Knowledge dapat dijadikan wacana yang menurut Profesor IIk Arifin
Mansurnoor, seorang Indonesia yang mengajar di universitas Brunei Darusalam,
akan menghasilkan seorang akademisi dan praktisi yang Islami.

"Islamisasi knowledge itu bukan sesuatu yang mengejutkan, itu memang selalu
ada, untuk memperkaya discourse, wacana memang perlu, yang menjadi masalah
kalau discourse seperti ini dipaksakan, jangan sampai mengalahkah
disiplin-disiplin yang sebenarnya tidak ada masalah dengan Islam, kalau kita
mempelajari biologi, bagaimana seorang itu yang sudah mencapai ilmu
sedemikian rupa, adakah dia akan menginjak. Kalau ingin menjadi specialist,
perlu menjadi specialis dalam biology tapi menjadi orang Islam yang benar,
masalahnya bukan ilmu sosiologi menjadikan ilmu Islam, tapi orang yang
mempelajari itu, menjadi Muslim yang bertanggung jawab terhadap ilmunya dan
bertanggung jawab terhadap dirinya orang Islam yang benar."

Profesor Iik Arifin Mansur Noor, pengajar Sejarah pada Universitas Brunei
Darussalam. [Budi : bsetiawa @ mediacorpradio.com]


latestnews

View Full Version