View Full Version
Kamis, 26 Apr 2018

The Twin Heart 7: Menggambar Lampau (Part C)

Assalamu'alaikum sobat voa-islam yang semoga selalu dirahmati Allah,

Alhamdulillah, serial The Twin Heart sudah sampai hampir tengah. Kecamuk perasaan Dave, mimpi-mimpi yang selalu hadir saat dia memejamkan mata hingga tugas jurnalistik kampus yang mendekati deadline. Semua itu menjadi bagian dari kehidupan dan masalah Dave yang harus ia hadapi.

Lalu bagaimana dengan Sharon? Prediksi berdirinya Khilafah yang sudah sangat dekat? Interaksi mereka dengan Liwa dan Raya, sejauh apa?

Yuk, pantengin terus ya. Cuss aja langsung baca dan jangan lupa like dan share :)

Salam

---------------- 

The Twin Heart - Bagian 6

Menggambar Lampau (part C)

 Oleh: Ria Fariana

Dave sudah berdiri di depan pintu apartemen Sharon. Ragu-ragu ia untuk mengetuknya. Entah sudah berapa banyak doa ia lafalkan agar di dalam nanti tidak terjadi apa-apa. Setelah sepuluh menit berlalu, akhirnya Dave mengetuk juga. Dan tak perlu menunggu lama, Sharon langsung membukanya.

Come on in.”

Dave melangkah masuk dengan canggung. Untuk pertama kalinya bagi Dave masuk ke apartemen Sharon dan bukan hanya mengantar hingga di depan pintu saja. Rapi. Khas tempat tinggal perempuan. Ada sofa panjang di depan satu set televisi lengkap dengan DVDnya, buku-buku yang berjajar rapi di rak mungil, dan tempelan beberapa gambar di dindingnya di selingi dengan banyak kutipan-kutipan kata-kata bijak.

“Dingin atau panas, Dave?”

“Panas saja, thanks.”

Beberapa saat kemudian secangkir mug berdasar hitam dan ada sebaris tulisan arab bercorak putih diterimanya dari tangan Sharon. Dave mengamatinya dengan penuh keingintahuan yang dalam. Dilihatnya mug yang dibawa Sharon. Mug putih dengan tulisan arab hitam. Dikerutkannya kening.

“Al Liwa dan Ar Roya,” Sharon seakan menjelaskan keheranan Dave.

Sharon menyeruput minuman dalam mug itu. Dave mengikuti. Hmm…coffee cream tanpa gula. Sharon seakan-akan tahu benar minuman kesukaannya.

“Kamu tak tanya kabarku?”

“Uhm…ehm…apa kabar?”

Bukannya menjawab, Sharon malah tertawa dengan pertanyaan Dave.

“Kamu lugu sekali.”

Dave semakin bingung. Tadi katanya disuruh tanya kabar, gantian sudah ditanya malah tertawa. Apa sih maunya? Tiba-tiba Sharon beranjak masuk kamar. Dibiarkannya pintu yang menghubungkannya dengan ruang tamu tempat Dave duduk menghirup minumannya, terbuka.

“Itu isyarat seorang gadis mempersilahkan cowok untuk mengikutinya masuk ke dalam kamar.” Suara Mike tiba-tiba terngiang ketika memberinya pelajaran ‘pergaulan’ tanpa pernah dimintanya.

“Cuma cowok bodoh dan pervert yang tak menyambut ajakan itu.”

Dave merutuk dalam hati. Aku bukan pervert. Aku normal dan tak mempunyai kelainan orientasi seksual sedikit pun. Enak saja menilai orang. Ketika batin Dave masih bergolak, Sharon sudah muncul lagi. Diangsurkannya sebuah kaset kecil dan beberapa berkas kertas ke arah Dave. Dave yang masih dibuai lamunannya sendiri jadi tergagap.

“Dave, are you okay?”

Muka Dave jadi bersemu merah ketika untuk kesekian kalinya ia kepergok Sharon menjadi gagap setiap kali berada di dekatnya. Tak bisa dibayangkannya seandainya Sharon tahu apa yang ada dalam benaknya tadi.

I’ve to go,” Dave langsung berdiri setelah kaset dan berkas-berkas itu ada di tangannya. Keperluannya sudah selesai. Tak perlu lagi ia berlama-lama di situ.

“Sekalian aku juga mau ada perlu keluar. Tunggu, Dave. Aku ambil tas dulu”

Sharon kembali masuk ke dalam kamarnya. Dan untuk mengalihkan perhatiannya, Dave memilih melihat-lihat deretan buku Sharon di rak. Hey…wait, apa itu? Perhatian Dave benar-benar tersedot oleh sepasang bendera mungil yang menghiasi bagian atas rak buku Sharon. Kedua bendera itu berwarna dasar putih dan hitam disilangkan satu sama lain. Ada huruf arab memanjang disitu.

“Al-Liwa dan Ar-Roya.”

Dave menoleh. Sharon sudah berdiri di belakangnya.

“Seperti design di mug tadi.”

“Itu souvenir, maksudku mug-mug tadi. Tapi sesungguhnya, dua bendera itu lambang kemulyaan kaum muslimin, Dave. Yang berwarna putih itu, mereka menyebutnya Al-Liwa, bendera Muhammad. Dan yang berwarna hitam biasa disebut Ar-Roya, panji-panji umat Islam. Setiap pemuda muslim rindu bisa menjadi pembawa panji-panji itu. Karena dengan tegaknya Al-Liwa dan Ar Roya adalah perlambang tegaknya Islam sebagai system pula.”

Dave memandang Sharon dengan heran. Bagaimana ia bisa tahu begitu banyak?

“Sejak NIC mengindikasikan munculnya khilafah thn 2020, aku penasaran dengan system kenegaraan dan politik umat Islam ini.” Sharon menjelaskan tanpa diminta.

Dave berusaha menyentuh dua bendera mungil itu dengan jemarinya. Entah kenapa, ada yang berdesir hebat di dadanya. Ia pun seketika limbung.

“Dave, are you okay?” Sharon tiba-tiba ada di dekatnya dan menangkap tubuhnya yang hampir saja jatuh.

Oh…yeah, I am okay.”

Dave berusaha duduk di sofa. Sharon masih memegang lengan kirinya. Tapi bukan itu yang memenuhi benak Dave saat ini. Kilatan-kilatan dalam mimpinya semakin lama semakin jelas. Ia mencubit pergelangan tangannya sendiri. Sakit. Berarti ia tidak sedang bermimpi.

            Tiba-tiba saja di depannya hadir sesosok perempuan memakai baju panjang semacam longdress yang longgar. Ada senyum penuh kedamaian di wajah ayunya. Tapi…mengapa kepala itu ditutup oleh selembar kain hingga tak terlihat telinga, rambut, dan lehernya? Bahkan kain itu menjuntai hingga menutup dadanya dengan sempurna. Dave memandang perempuan itu tanpa berkedip. Siapakah dia? Kenapa ada buncah rindu itu dalam dadanya?

            Tangan perempuan itu terulur. Dirasakannya sentuhan lembut itu pada rambut tebalnya, pada dahinya, pada pipinya. Dave merasa damai bersama sosok itu di sampingnya. Dave memejamkan mata, menikmati hangat yang mengaliri seluruh rongga jiwanya yang akhir-akhir ini begitu beku. Tiba-tiba dirasakanya sentuhan jemari itu pada bibirnya. Dave membuka matanya perlahan dan tiba-tiba ia tersentak.

“Sharon! What the hell are you doing?”

Dave beringsut sambil tangannya mendorong tubuh Sharon ke belakang.

“Tapi Dave, kupikir kamu begitu menikmatinya,” wajah Sharon pias.

Yah…Dave memang menikmatinya. Tapi bukan sosok Sharon yang tergambar di benaknya tadi. Dan juga bukan satu hal erotis seperti yang dilakukan Sharon padanya. Tapi sentuhan itu begitu lembut, seperti sentuhan seseorang yang begitu sayang padanya dengan tulus. Sayang seorang perempuan yang abadi. Sayang seorang ibu. Ibu?

#Bersambung hari Senin yaaa, insya Allah ^_^

Ilustrasi: Google

Link sebelumnya: http://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2018/04/23/57481/the-twin-heart-6-menggambar-lampau-part-b/#sthash.hhUAwRYv.dpbs

 


latestnews

View Full Version