View Full Version
Jum'at, 16 Jan 2015

Eropa Berdarah, Muslim Terperangah

Oleh: Ihshan Gumilar

(voa-islam.com) - 7 Januari 2015, 11.30 waktu paris, udara pagi musim dingin seketika berubah menjadi panas di kulit para redaksi dan kartunis Charlie Hebdo yang sedang mengadakan rapat redaksi. Orang-orang bertopeng yang tak dikenal melepaskan sekitar 50 tembakan brutal membabi-buta ke kepala mereka. Dua belasorang pun menjadi korban termasuk dua polisi. Seorang polisi yang telah jatuh tersungkurpun didekati lebih dekat oleh para pelaku untuk disarangkan lagi beberapa peluru panas dari mulut AK-47 ke dalam tempurungnya. Salah satu polisi yang meninggal adalah Muslim. Tak lama berselang, kejadian drama penyanderaan terjadi di toko yahudi. Penyanderaan ini menewaskan setidaknya empat orang. Para pelaku dalam dua tragedi berdarah inipun, sebelum meninggal dalam baku tembak dengan polisi, menyatakan diri mereka sebagai pembela Islam.

Seorang peneliti disela-sela makan siang bertanya kepada saya, "Mengapa Muslim bereaksi begitu brutal terhadap sebuah karikatur?". Ia meneruskan "Mengapa cuma Islam yang brutal dan tidak agama yang lain?". Saat ini, berbagai pertanyaan hingga jutaan pasang mata tertuju pada Muslim. Muslim sebagai sosok yang sadis dan menyukai darah segar yang tertumpah. Menjadi Muslim bukanlah hal yang mudah paska kejadian Charlie Hebdo. Sebuah masjid besarpun di Swedia dibakar akibat kemarahan yang dibalaskan atas kejadian di Paris. Muslim kian tersudut di berbagai belahan dunia. Terutama bagi mereka yang tinggal di eropa, tekanan baik secara psikologis maupun fisik kian menjelma menjadi nyata.

Klaim kembali agama Islam dan ilmu

Para ulama dan aktivis Islam menyerukan agar Muslim segera melakuan klaim kembali terhadap agama dan kepercayaan mereka, karena para teroris telah merusakan imageIslam dan membuat milyaran Muslim menjadi tersudut.

Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah landasan untuk bisa mengklaim kembali bahwa Islam itu bukan agama yang memprioritaskan kekerasan? Jika Muslim hanya memberikan klaim tanpa dasar pengetahuan Islam yang baik dan benar, lalu apa bedanya dengan para teroris yang tidak memiliki pemahaman Islam yang baik dan benar?. Semua orang bisa melakukan klaim terhadap Islam, tapi tidak semua orang bisa menampilkan esensi ajaran Islam secara benar.

Yang membedakan antara Muslim sejati dan teroris adalah pemahaman dasar tentang Islam yang selalu mengutamakan kemampuan intelektualitas dalam mempromosikan perdamaian bukan moncong senjata. Setiap orang punya kemampuan dan pemahaman terhadap Islam yang variatif. Maka luangkanlah waktu kita sejenak untuk belajar tentang Islam.

Jika orang mempunyai ilmu, maka ia tidak akan merasa takut dan rendah diri di hadapan orang lain ketika berbicara tentang apa yang mereka percayai. Mari tanya diri kita, jika di dalam sanubari kita masih ada perasaaan malu, rendah diri, dan segan, untuk menyatakan di hadapan publik bahwa kita adalah Muslim, mungkin itu pertanda bahwa pengetahuan kita masih sangat minim terhadap Islam. Pengetahuan akan mendatangkan keyakinan. Dengan keyakinan akan melahirkan kepercayaan. Dan dengan kepercayaan di dalam jiwa akan menghasilkan kebijakan pada setiap tindakan.

Sama halnya ketika seseorang akan menghadapi ujian, ia akan merasa takut, tidak percaya diri, dan juga ragu untuk menjalaninya, ketika ia tidak punya ilmu yang cukup (mungkin, karena kurangnya persiapan). Tak ubahnya, jika kita masih merasa ragu dan tidak berani menyatakan kepada orang tentang apa itu Islam, dikarenakan ilmu kita yang masih sangat terbatas. Mungkinkah, kita selama ini beragama Islam hanya karena kita terlahir di keluarga yang sudah Islam secara turun temurun ?.

. . . Jika orang mempunyai ilmu, maka ia tidak akan merasa takut dan rendah diri di hadapan orang lain ketika berbicara tentang apa yang mereka percayai. . .

Atas nama kebebasan

Kebebasan yang tak terbatas, pada akhirnya hanya akan menghasilkan ketidak bebasan karena terlampau kebablasan. Atas nama kebebasan, orang bisa mengolok-olok hal yang bersifat sakral pada diri orang lain, yang mana menjadi pemicu tindakan anarkis. Tragedi berdarah di paris menyebabkan warga disana merasa tidak lagi bebas dan selalu dirundung rasa takut kemanapun mereka pergi. Iya, atas nama kebebasan yang tak terbatas. Oleh karena itu, kebebasan seseorang terbatas oleh kebebasan orang lain yang ingin merasa aman, nyaman tanpa emosi yang bergejolak di dalam jiwa.

Di Amerika, jika seseorang mengatakan hal yang bersifat rasis dan mengatakannya di depan publik, seperti niger, kulit hitam, maka ia bisa kehilangan pekerjaannya. Orang bisa menulis apapun tentang Islam dalam konteks diskusi intelektualitas yang menyatakan bahwa ia tidak percaya dengan ajaran Islam bahkan mengkritik sekalipun. Hal ini sah-sah saja karena ia bebas berpendapat. Karena Islam juga tidak memaksa seseorang untuk mempercayainya. BahkanAl-Quran menantang untuk menulis (kebebasan berpendapat) hal yang semacam Al-quran jika manusia mampu.Tidak ada paksaan di dalam Islam. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah ketika orang mengolok-ngolokan kepercayaan orang lain, dan ia melakukannya atas nama kebebasan berpendapat (freedom of speech). Manusia manapun, apapun rasnya, agamanya, keturunannya, mempunyai titik sensitivitas. Yang mana sensitivitas tersebut bisa tersentuh dalam bentuk yang berbeda-beda. Permasalahannya bukan pada kebebasan berbicara, tapi kebebasan berbicara yang disalahgunakan untuk mengolok-ngolokan orang lain. Inilah yang mendorong orang menjadi anarkis.

. . . Kebebasan yang tak terbatas, pada akhirnya hanya akan menghasilkan ketidak bebasan karena terlampau kebablasan. . .

Dalam beberapa tahun sebelumnya, seorang kartunis Charlie Hebdo, Maurice Sine, dipecat karena mengisi sebuah kolom yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap kaum yahudi (anti-semitik). Pada saat itu anak PM Sarkozy bertunangan dengan Jessica Sebaoun-Darty, seorang keturunan yahudi yang kaya raya. Sine menyatakan bahwa anak Sarkozy akan pindah agama dari katolik menjadi yahudi. Lalu bagaimana dengan kartunis yang mengolok-olok Muhammad ?. Tidak ada sangsi apapun. Yang ada hanya diam dan tertawa.

Lalu...

Melakukan klaim bahwa kita adalah Muslim harus didasarkan pada pengetahuan yang benar dan cukup tentang apa itu Islam, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan bersosialisasi. Melakukan klaim tanpa dasar ilmu yang benar tidak bedanya dengan para teroris yang juga melakukan klaim atas nama Islam. Mari kita mulai diri kita untuk belajar tentang Islam walaupun hanya satu jam per hari. Eropa tengah berdarah.Jika kita tidak mau meningkatkan kualitas diri dan pengetahuan ilmu kita terhadap Islam, maka kita akan selalu menjadi kambing hitam. Dan Muslim hanya bisa terperangah mendengar berbagai tuduhan tanpa bisa memberikan klarifikasi yang benar. Belajar harus terus berlangsung hingga ajal menjemput.

* Korban Gaza

* Korban Suriah

Mari berdiri tegak untuk berlaku adil atas nama kemanusiaan, wahai Muslim !. Keislaman itu bukan untuk diri sendiri atau umat Muslim saja, tapi untuk seluruh anak cucu Adam yang ada di seluruh alam. Dua belas orang meninggal dapat menimbulkan reaksi emosional luar biasa di seluruh dunia, tapi bagaimana dengan ribuan orang yang meregang nyawa di Jordan, Syria, dan Palestina? Dunia hanya diam tak bergeming. Mana yang lebih mengguncang, peluru yang menikam dua belas orang atau peluru yang menikam ribuan orang? Waalaahu alam bis Shawab. [PurWD/voa-islam.com]

 

* Penulis: Ihshan Gumilar, (Institute for Neuroscience, Department of Experimental Psychology, Ghent University, Belgium).

 

 


latestnews

View Full Version