View Full Version
Jum'at, 03 Jun 2016

Kebangkitan Nasional dan Ideologi

Oleh: Mika Nurjanah, S.E.,

(Demisioner Aktivis BEM FE Universitas Jember; Karyawati STIE Mandala Jember)

Mei menjadi bulan yang ditandai sebagai momen peringatan kebangkitan, tepatnya pada 20 Mei bagi bangsa Indonesia diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Seperti biasa, rutinitas tahunan  ini diisi dengan acara yang formalitas dan pidato tentang kebangkitan. Kalau dihitung-hitung mulai dari berdirinya Boedi Oetomo pada 20 mei 1908 hingga saat ini berarti sudah 108 tahun berlalu. Pertanyaannya, sudahkah saat ini kita bangkit?

Alih-alih bangkit, kehidupan kenegaraan dan nasib masyarakatkian hari kian terpuruk. Kasus terakhir kita bisa melihatmarkus (makelar kasus) reklamasi teluk Jakarta. Kejahatan yang dilakukan secara sistematis. Kejahatan ini melibatkan pengusaha dan penegak hukum. Bayangkan jika penegak hukumnya malah menjadi pelanggar hukum, lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan?

Secara ekonomi, pemerintah bisa saja mengklaim angka pertumbuhan ekonomi tinggi, neraca perdagangan positif, rupiah menguat, ekspor meningkat, pengangguran berkurang, dan sejumlah klaim lainnya.Namun, marilah kita melihat kenyataan sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat. Kemiskinan di mana-mana tumbuh meningkat. Masyarakat banyak yang hidupnya tak layak, bahkan untuk makan pun susah. Busung lapar terjadi di beberapa tempat. Biaya kesehatan makin meningkat tidak terjangkau. Masyarakat kecil harus bisa menahan sakit karena tak mampu berobat. Pendidikan pun semakin mahal sekaligus tidak bermutu dan tidak menjamin seseorang meraih pekerjaan apalagi gaji yang layak.

Bukti kongkrit kondisi ini, kita bisa melihat di jalan-jalan. Anak-anak jalanan dan pengemis semakin tumbuh subur. Jumlah orang gila di jalanan makin bertambah karena tidak mampu menahan beban hidup yang berat dan kompleks. Masyarakat kita menjadi masyarakat yang sakit. Tak sedikitIbu tega membunuh anaknya, suami membakar istrinya, anak membunuh orang tuanya. Semuanya biasanya berpangkal pada kesulitan hidup.

Kesenjangan pun semakin menjadi-jadi. Saat orang miskin kesulitan makan untuk sehari-hari, pedagang sulit mengais pendapatan walau sekedar sepuluh ribu rupiah, ada yang tega mempertontonkan kekayaannya dengan acara pernikahan yang super mewah hingga mencapai miliaran rupiah; ada yang tega mempertontonkan korupsinya hingga miliaran rupiah; serta ada pula para pejabat dan politisi pun tak sungkan memamerkan kerukusannya dengan biaya anggaran yang fantastis bagi pejabat yang jika dilogikan tidak masuk akal ketika dikonversikan dengan tingkat kebutuhan. Sehingga tak heran timbul pertanyaan, apa yang dibelanjakan sejatinya sesuai kebutuhan atau keinginan?

Ada yang mengatakan kita tidak bangkit-bangkit karena sejak awal penetapan Hari Kebangkitan kita telah cacat secara sejarah. Banyak yang mempertanyakan; layakkah Boedi Oetomo yang berdiri 20 Mei 1908 menjadi pelopor kebangkitan nasional? Pasalnya, Boedi Oetomo tidak lebih dari kumpulan priyayi jawa yang beraktivitas untuk kepentingan kelompoknya, bukan untuk masyarakat banyak. Bahkan keanggotaannya khusus untuk orang Jawa dan Madura.

Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) yang berdiri tahun 16 Oktober 1905 (3 tahun lebih awal) sebenarnya yang pantas disebut sebagai tokoh kebangkitan, mengingat tujuannya untuk membangkitkan masyarakat miskin kebanyakan, melawan dominasi kolonial terutama di bidang ekonomi. Organisasi yang didirikan Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto mencita-citakan kemerdekaan Islam Raya dan Indonesia Raya. Tidak hanya itu, Syarikat Islam bersikap non-kooperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial Belanda.

Namun tentu saja ada hal yang lebih mendasar mengapa kita tidak bangkit-bangkit. Ada dua kemungkinan jawabannya. Pertama: kita tidak tahu persis bagaimana cara bangkit. Kita melupakan ideologi sebagai dasar kebangkitan. Padahal kebangkitan mutlak didasarkan pada ideologi. Ideologi merupakan dasar (pondasi) yang akan menentukan pemikiran-pemikiran dan aturan yang lahir darinya. Bagaimana corak dan substansi dari sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan sebuah negara ditentukan oleh ideologinya. Karena itu, dasar kebangkitan yang utama bukanlah ekonomi atau pendidikan, karena ekonomi atau pendidikan merupakan pemikiran turunan dari sebuah ideologi, artinya keduanya bukan pemikiran mendasar.Ideologi juga menjadi pandangan hidup yang akan mengarahkan cara berpikir dan bertindak manusia.

Mengutip pernyataan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tentang definisi ideologi yang diistilahkan menggunakan istilah mabda’ (dalam bahasa Arab). Menurut beliau, mabda’ (Ideologi) adalah suatu ‘aqidah aqliyyah yang melahirkan peraturan’; mabda’ adalah ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan hidup (sebagai sebuah pandangan hidup). Mabda’ terdiri dari dua bagian, yaitu fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode praktis untuk merealisasikan fikrah).

Jawaban kedua: kita gagal bangkit karena kita telah keliru merumuskan ideologi apa yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bernegara kita. Di era Soekarno, diakui atau tidak, ideologi kita telah banyak dipengaruhi Sosialisme. Di era Soeharto hingga Jokowi sekarang negara kita diarahkan oleh ideologi Kapitalisme. Kedua ideologi tersebut, baik Sosialisme dan Kapitalisme terbukti gagal. Bukti kongkritnya adalah apa yang telah kita dapati, baik dulu maupun kini. Tentu sangat merugikan, kalau kita kembali pada Sosialisme yang telah gagal atau kita ngotot mempertahankan Kapitalisme yang justru menjadi pangkal berbagai masalah dan bencana di negeri ini. Kedua ideologi ini gagal karena sesungguhya tidak sejalan dengan akal sehat manusia dan bertentangan dengan fitrah manusia.

Gambaran kegagalan Kapitalisme ini secara akurat ditulis Moris Berman (63 tahun) dalam bukunya, Dark Ages America: The Final Phase of Empire (Norton, 2006). Menurutnya, imperium Amerika segera akan rubuh. Ia mendeskripsikan Amerika sebagai sebuah kultur dan emosional yang rusak oleh peperangan, menderita karena kematian spiritual dan dengan intensif mengeskpor nilai-nilai palsunya ke seluruh dunia dengan menggunakan senjata. Republik yang berubah menjadi imperium itu berada di dalam zaman kegelapan baru dan menuju rubuh sebagaimana dialami Kekaisaran Romawi.

Terdapat Ideologi yang telah terbukti mampu memberikan kehidupan aman dan sejahtera bagi rakyatnya, diterapkan selama kurang lebih 1.400 tahun di sepertiga belahan dunia yaitu Ideologi Islam, dimana Islam tidak sekedar agama ritual tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan. Gambaran kemajuan Ideologi Islam ini diakui pula oleh Ilmuan Barat:

“Para Khalifah (Pemimpin Khilafah) memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa… (Will Durant – The Story of Civilization).         

Inilah ideologi yang sesuai dengan akal sehat serta fitrah manusia. Ideologi yang bersumber dari Allah SWT. Islamlah yang akan membawa kebangkitan hakiki untuk negeri tercinta ini. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version