View Full Version
Kamis, 27 Sep 2018

Utang Melilit Rakyat Menjerit

Oleh: Moni Mutia Liza, S.Pd (Guru SMA 1 Pante Ceureumen)

Iklim ekonomi di Indonesia saat ini begitu kronis. Kebutuhan sandang, pangan, papan, serta biaya pendidikan bahkan kesehatan melonjak tinggi. Padahal jika kita melihat potensi hasil bidang pertanian, hutan, laut dan sumber daya alam lainnya, sejatinya rakyat Indonesia tidak dalam kondisi yang terjepit dan sekarat, bahkan dengan SDA yang luar biasa tersebut Indonesia tidak butuh impor bahan pangan dari Thailand.

Kondisi masyarakat yang buruk ini semakin terpuruk dengan kebijakan pemerintah yaitu melakukan pinjaman hutang ke luar negeri dengan jumlah yang tidak sedikit, bahkan mencapai 4.277 T atau mengalami kenaikan utang sebanyak 48 persen (dua kali lipat dari pemerintahan sebelumnya) (detik.com/29/6/18). Hal ini tentu akan menjadi beban bagi rakyat Indonesia, bahkan menurut Prabowo Subianto, Indonesia akan bubar pada tahun 2030 (detik.com/29/6/18).

Pasalnya setiap pinjaman hutang pasti memiliki ikatan perjanjian batas pengembalian hutang beserta bunganya. Apa yang terjadi dengan Indonesia bila hutang tersebut tidak dilunaskan?. Maka sudah jelas akan ada aset-aset negara yang terjual, salah satunya sebagaimana opini yang selama ini tersebar luas berupa penjualan pesawat presiden untuk menutupi hutang.

Dampak lainnya adalah pemangkasan subsidi, banyak tunjangan pegawai di potong bahkan dihapuskan, pajak dinaikkan, listrik dan BBM melonjak tajam, penghapusan penggratisan pengobatan yang urgent (red. penting) di daftar BPJS seperti pengobatan kanker, proses melahirkan dan sebagainya.

Meskipun atmosfer ekonomi Indonesia yang sudah diujung tanduk tetap saja masyarakat digiring untuk tidak khawatir dengan lonjakan hutang yang luar biasa, sebagaimana pernyataan Kepala Ekonomi Samuel Asset Management (SAM), Lana Soelistianingsih bahwa hutang Indonesia masih aman yaitu dibawah 35 persen dilihat dari rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) (detikFinance/18/7/18). Benarkan kita tak perlu khawatir dengan jumlah hutang yang begitu besar?.

Mungkin berdasarkan kaca mata pemerintah jumlah hutang yang mencapai 4.277 T bukanlah hal yang mengerikan, namun bagaimana dengan efek hutang tersebut kepada masyarakat? Bukankah masyarakat akan menanggungnya kelak dengan kebijakan kenaikan pajak, pemangkasan subsidi dan lainnya? Bahkan lebih parahnya lagi, Indonesia akan dijual ke asing, karena ketidakmampuan menunasi hutang.

Siapa yang menanggung beban bila kelak aset negara bahkan SDA di Indonesia ini sudah dikuasai asing?, tentu rakyatlah yang menanggung kesengsaraan itu.

Yunani adalah contoh nyata kebangkrutan ekonomi dengan jatuhnya harga euro, efeknya adalah masyarakat harus membayar pajak yang tinggi guna menutupi hutang. Tentu hal ini akan menambah daftar kemiskinan, pengangguran bahkan kriminal.

 

Islam Punya Solusi

Terjadinya deflasi dan inflasi di Indonesia bahkan negara besar lainnya menunjukkan kepada kita rusaknya sistem ekonomi kapitalisme, sebab ekonomi kapitalis ini mengedepankan pendapatan negara dari pajak dan penguasaan SDA diserahkan kepada swasta. Wajar jika pemasukan negara berkurang dan masyarakat kena imbasnya.

Bahkan dengan ekonomi kapitalis sangat memungkinkan terjadinya pendistribusian yang tidak merata, sebab kekayaan alam bisa dikuasai oleh siapa saja yang bermodal, sehingga dengan asas yang begitu rapuh memunculkan kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat. Inilh fakta sistem ekonomi kapitalisme yang sedang mencengkram negeri kita.

Namun berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Sumber pendapatan negara tidak bertumpu pada pajak, melainkan berasal  dari tiga hal  berikut:

Pertama, dari sektor kepemilikan individu, misal: sedekah, hibah dan zakat (khusus untuk 8 asnaf). Kedua, dari sektor kepemilikan umum, misal: pertambangan, minyak bumi, batu bara, hasil hutan, hasil laut dsb. Ketiga, dari sektor kepemilikan negara, misal: jizyah, kharaj, ghanimah dsb. (Abdul Qadim, Sistem Keungan Negara Islam)

Selanjutnya tugas negara adalah mengelola sumber daya alam tersebut dengan membuka lowongan pekerjaan kepada masyarakat secara besar-besaran bukan dengan menyerahkannya SDA ke swasta. Hasil pengolahan SDA tersebut akan digunakan untuk kepentingan masyarakat baik fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, perindustrian alat berat dsb.

Apabila sumber penerimaan sudah mencukupi maka negara tidak perlu memungut pajak dari rakyatnya, pemungutan pajak tersebut bersifat sementara selama negara berada dalam kondisi yang sangat krisis dan dibebankan kepada warga negara yang mampu saja. Pendistribusian dalam Islam juga merata dan Islam juga memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku korupsi, masyarakat yang melakukan praktik monopoli dan kecurangan dalam aktifitas perdagangan.

Dengan melihat dan mempelajari sistem ekonomi Islam dan membandingkan dengan sistem ekonomi kapitalis yang sedang diterapkan Indonesia dan negara adidaya, Amerika, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa harapan bangkitnya ekonomi Indonesia akan terwujud dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam yang bebas riba, bebas hutang dan memanusiakan manusia, sebab dunia telah mencatat sejarah hebatnya ekonomi Islam mada pasa kejayaan Islam 14 abad silam. Wallahu’alambiashawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version