View Full Version
Kamis, 27 Sep 2018

Rapor Merah Perkara Impor

Oleh: Astia Putri, SE*

Ekonomi Indonesia tak habis-habisnya dirundung problem. Beberapa hari belakangan media gencar memberitakan perseteruan sengit yang melibatkan Direktur Perum Bulog dan Menteri Perdagangan. Perseteruan ini dipicu oleh persoalan impor beras yang diduga masih terus dilakukan hingga dikatakan overload.

Perum Bulog pun mengeluhkan imbas menumpuknya beras hingga memaksa Bulog untuk menyewa gudang seharga Rp 45 miliar. Sayangnya, keluhan ini bukannya ditanggapi dengan aksi koordinasi untuk menemukan solusi, Menteri Perdagangan justru berkilah persoalan sewa gudang bukanlah urusannya. (Detik.com, 18/9). Wajar saja, Dirut Bulog, Budi Waseso geram hingga mempertanyakan peran masing-masing untuk negara. (Detik.com, 19/9)

Kekacauan basis data yang digunakan merupakan alasan berkecamuknya antar lembaga. Hal ini pun turut menyeret Kementerian Pertanian dan BPS yang dianggap bertanggung jawab dalam menyajikan data beras secara ril. Namun kenyataannya data yang tersedia beraneka macam dengan melihat dari berbagai aspek.

Kementerian Pertanian melihat dari sisi produksi. Menteri Pertanian menyatakan pasokan beras dalam negeri lebih dari cukup, bahkan melebihi batas aman dua kali lipat (Detik.com, 18/9). Ditambah lagi diakui adanya penggunaan combine harvest yang lebih modern untuk panen memungkinkan ketersediaan beras akan cukup memenuhi kebutuhan nasional. Jikapun persoalannya adalah faktor musim hujan, maka ini hanya berpengaruh amat kecil.

Sedangkan Kementerian Perdagangan melihat dari sisi persediaan dan harganya di pasaran. Adanya dugaan kurangnya stok beras dan merangkaknya harga di pasaran memaksa adanya intervensi agar menjaga tetap tersedianya beras. Salah satu caranya adalah dengan impor. Inilah kemudian yang menimbulkan kisruh.

Persoalan Menggunung, Rakyat Kian Bingung

Apa yang anda rasakan ketika mengamati kisruh antar instansi seperti ini? Mungkin kebanyakan akan bingung yang mana yang harus dipercayai? Kunci utama persoalan ini sejatinya terletak pada data. Harus diakui, ada keteledoran negara dalam mengelola data yang menjadi basis untuk mengambil keputusan. Perihal pencocokan data harusnya dilakukan dengan mendalam dan objektif sesuai fakta lapangan.

Wajar saja kisruh terjadi dan berbagai pengamat ekonomi menduga ada banyak kepentingan lain yang melatarbelakangi tindakan impor pemerintah. Menengok besarnya potensi produksi beras di bentangan alam Indonesia yang begitu luas, seharusnya membuka mata pemerintah untuk bisa berfokus pada solusi fundamental yang berparadigma kerakyatan, seperti intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian dengan mensinergikan peran petani, peneliti hingga pemerintah. Tidak hanya karena merasa kurang stok lantas impor dan impor.

Permasalahan beras dapat diamati dari segi suplai dan distribusi. Jika memang masalah terletak pada pasokan beras yang minim dengan kondisi produksi yang sangat tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat akibat dari kondisi yang tidak dapat diprediksi dan ditanggulangi manusia, impor bisa jadi sebuah pilihan. Jika yang terjadi adalah masalah distribusi, yakni adanya penumpukan beras maka harus segera diatasi dengan membasmi segala penghalang rantai distribusi yang menyebabkan permasalahan nasional.

Lemahnya ketahanan pangan dan tingginya ketergantungan pada negara lain hanya akan membuka pintu neoliberalisme. Jangan sampai dengannya ini negara akan terus saja meniscayakan kebijakan yang sarat dengan “kepentingan-kepentingan” yang akhirnya menjadikan rakyat terkorbankan. Perkara kepengurusan negara adalah perkara yang tak main-main. Sejatinya, setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan dipertanggungjawabkan di hadapan ALLAH SWT kelak di akhirat. “Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Islam yang tidak hanya sebagai agama tapi juga problem solver telah menuntun manusia untuk mengaplikasikan aturan ALLAH SWT dalam upaya mengurus dan menyejahterakan rakyat. Kemandirian ekonomi akan senantiasa diwujudkan dengan berfokus pada pengelolaan sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri yang bebas dari monopoli, riba, penipuan, penimbunan dan mafia.

Setiap kebijakan takkan berlandaskan hawa nafsu semata, melainkan sesuai dengan hukum syariat yang diturunkan hingga dengannya terwujudlah keberkahan. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q.S Al-A’raf ayat 96)

*Penulis adalah anggota Komunitas “Pena Langit”

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version