View Full Version
Sabtu, 14 Dec 2019

Sekularisasi Ala Jokowi

Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)

Semangat Pemerintah melakukan upaya penangkalan radikalisme dan intoleransi nampaknya tanpa kejelasan tujuan, mekanisme, dan batasan. Akibatnya menjadi tendensius dan berdampak luas. Nilai keislaman dan umat Islam dikesankan menjadi sasaran.

Meski semua Kementrian diamanatkan mengangkat isu ini, bahkan telah dibuat SKB sebelas instansi, namun masyarakat melihat bahwa keagamaan adalah "mainstream" dari isu. Kementrian agama menjadi sektor terdepan. Dan ini mulai dirasakan sebagai ketidakadilan kebijakan Pemerintahan Jokowi. Radikalisme ternyata diidentikan dengan ajaran Islam.

Kebijakan soal "cadar" "celana cingkrang" mungkin masih dinilai sumier, akan tetapi setelah masuk pada perubahan kurikulum barulah serius. Direktorat Pendidikan Islam Kemenag membuat Surat Edaran No B-4339/DJ.I.I/PP.00/12/2019 yang ditandatangani Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) H. Ahmad Umar telah menarik materi ujian madrasah yang mencantumkan konten "Khilafah" dan "Jihad".

Tentu aturan seperti ini menimbulkan reaksi publik. DPR RI Komisi VIII yang antara lain membidangi agama pun mempermasalahkannya. Penghapusan konten ini meresahkan karena masalah Khilafah dan Jihad sulit untuk dipisahkan dari prinsip ajaran Islam.

Khususnya dalam kaitan kesejarahan. Wafatnya Nabi dilanjutkan oleh "Khulafaur Rasyidin". Lalu ada kekhalifahan Amawiyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah. Islam mencatat banyak kegemilangan peradaban di bawah sistem kekhalifahan.

Jihad lebih prinsip lagi. Al Qur'an banyak memuat ayat ayat jihad. Menghapus jihad sama dengan menghapus ayat Qur'an. Kezaliman luar biasa. Menghapus memori jihad dari siswa Madrasah sama saja dengan "brain washing" atas bagian dari ajaran Islam. Memotong motong bagian ajaran mengarah pada apa yang dinamakan dengan sekularisasi.
Deradikalisasi identik dengan sekularisasi.

Jika ini yang kini dimaksudkan dengan Islam "wasathiyah" maka ini adalah kejahatan yang tersistematisasi.

Bahwa kita tidak setuju dengan HTI yang memperjuangkan ide Khilafah itu boleh boleh saja, akan tetapi menghapus Khilafah dari memori umat adalah salah. Sejarah kegemilangan tidak boleh dihapus oleh rezim manapun. Jika sampai rezim Komunis juga ingin menghilangkan ini, wajib umat Islam untuk melawan dan menghancurkannya.

NKRI dimerdekakan dari penjajahan asing karena doktrin jihad. Jihad adalah kekuatan dan senjata umat melawan ketidakadilan dan penindasan. Karena jihad bangsa ini tetap eksis dan umat Islam menjadi modal dasar bangsa. Tentu dengan tidak mengubah dan tetap menghargai keragaman. Jihad bermakna konstruktif bukan destruktif. Karenanya salah memaknai jihad dengan kacamata buram.

Sekularisasi adalah model Turki saat dipimpin Kemal Ataturk. Hancurlah peradaban Islam saat itu. Jika konten "khilafah" dan "jihad" dihapus dari ruang pendidikan dan masjid maka ini artinya memang sekularisasi sedang dijalankan. Umat Islam tak bisa dan tidak boleh menerima kebijakan seperti ini.

Rezim Jokowi memang senang buat kegaduhan. Tidak membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Toleransi hanya slogan. Sebenarnya rezim yang dibangun adalah rezim intoleran. Tak suka keberagaman. Rezim yang berteriak waspadai radikalisme, padahal rezimlah yang mengambil kebijakan radikal. Ketentraman umat Islam diusik.

Mau dibawa kemana negara ini Pak Jokowi ?


latestnews

View Full Version