View Full Version
Kamis, 09 Jan 2014

Bung Karno, Mega dan Kelompok Cina

JAKARTA (voa-islam.com) - Sebuah episode sejarah yang sangat luar biasa menarik, di mana Bung Karno mengeluarkan PP No.10 tahun 1959, yang berisi tentang larangan orang asing (Cina) berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah), dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. Bung Karno membela dan melindungi kepentingan rakyat.

Inilah langkah Bung Karno dalam rangka melindungi bangsa Indonesia dari cengkeraman orang-orang asing (Cina), terutama dibidang ekonomi. Langkah Bung Karno itu sangat bersejarah, dan Bung Karno tidak pernah mau mencabut keputusan atau kebijakannya, betapa tekanan sangat hebat, termasuk dari pemerintah RRC.

Peraturan ini mengakibatkan eksodusnya secara besar-besaran orang-orang Cina dan kembali ke Cina. Mereka tak merasa nyaman lagi tinggal di Indonesia. Karena, adanya PP No.10 yang dikeluarkan Bung Karno.

Setelah kemerdekaan di tahun 1945, rakyat Indonesia mengalami euforia kemerdekaan dan merebut banyak perusahaan-perusahaan milik asing dan dinamakan “sentimen anti Belanda”. 

Di antara perusahaan-perusahaan yang direbut termasuk Koninklejke Paketvaart Maatscchappij (KPM), sebuah perusahaan pelayaran milik Belanda yang melayani jalur transportasi dagang dari Belanda menuju Indonesia oleh kelompok buruh Marhaen, dan perebutan-perebutan lapangan-lapangan minyak oleh kelompok pekerja lapangan dan pengilangan minyak jaman kolonial yang bersenjata dan menamakan diri “Laskar Minyak”.

Namun setelah beberapa waktu pemerintah Indonesia menyadari bahwa orang Indonesia yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit. Kaum pribumi pun tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin bersaing dengan perusahaan asing dan Tionghoa. Perusahaan-perusahaan ini mengalami kemunduran setelah diambil alih. 

Sebagai jalan keluar ditanda tangani persetujuan di Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang isinya Pemerintah akan mengembalikan semua perusahaan asing yang telah diambil alih kepada pemiliknya.

Sebagai gantinya untuk memperkuat ekonomi pribumi berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar, maka pemerintah Indonesia diberikan hak untuk mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan nasional dan “golongan ekonomi lemah”.

Pada awal 1950 dikeluarkanlah program “benteng” importir oleh Menteri Kesejahteraan Djuanda, yang mengumumkan bahwa hanya pengusaha pribumi saja yang diberi izin mengimpor barang tertentu yang dikenal sebagai sebutan barang benteng. Dalam penerapannya hal ini melahirkan istilah “Ali Baba” yang berarti kongsi antara kaum pribumi yang memiliki akses birokrasi dengan pengusaha Cina.

Pada tanggal 19 Maret 1956 pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, Asaat Datuk Mudo, Mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia berorasi bahwa orang-orang Cina telah bersikap monopolistis dalam perdagangannya dengan tidak membuka jalan bagi penduduk pribumi untuk ikut berdagang. 

"Orang-orang Cina sebagai satu golongan yang eksklusif menolak masuknya orang-orang lain, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka begitu ekslusif sehingga dalam prakteknya bersikap monopolistis…" 

Pidato ini menjadi awal “gerakan Asaat” atau “pribumisasi” yang dinilai berpengaruh besar pada gerakan anti Cina selanjutnya.

Pada bulan November 1959 dikeluarkan PP Nomor 10 tahun 1959 yang berisi larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari 1960. PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional.

Dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Subandrio dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia (Huang Chen) di Jakarta, pemerintah Peking mendesak peninjauan kembali PP No. 10 dan permintaan itu ditolak. Selanjutnya di depan sidang parlemen, Menteri Subandrio menegaskan, sama sekali tidak diperdapat anasir-anasir anti Cina dalam hubungan pelaksanaan PP No. 10. 

Pelaksanaan PP No. 10 tersebut, selain merupakan dimulainya nasioanalisasi dan sosialisasi di bidang ekonomi, juga merupakan bagian pelaksanaan dalam revolusi Indonesia, katanya. Dalam nasionalisasi tersebut, PP No.10 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya.

Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam tempatnya berjualan harus diserahkan kepada koperasi.

Sebuah episode sejarah yang sangat berharga, di mana Bung Karno pernah bertindak melindungi dan menjaga kepentingan rakyat kecil, khususnya dari serangan dan cengkeraman kelompok Cina. Bung Karno bertindak dengan tegas, mengeluarkan PP No.10, yang melarang kegiatan ekonomi orang-orang Cina di kabupaten dan kecamatan.

Tetapi, semua hanyalah menjadi sejarah masa lalu, belaka. Sekarang, kelompok Cina sudah menguasai asset dan ekonomi Indonesia. Di mulai sejak zamannya Soeharto.

Golongan Cina menjadi anak "emas" Soeharto dengan berbagai fasilitas dan kemudahan lainnya, sehingga sekarang sudah sangat mapan dan berkuasa atas bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia hanya menjadi "jongos dan kuli" orang Cina.

Mega bukanlah Bung Karno yang dapat menjaga dan melindungi kaum pribumi dan rakyat jelata, sekalipun ia mengaku sebagai pemimpin partainya "wong cilik". Justru Mega memberikan keleluasaan dan bahkan mengampuni para konglomerat Cina yang mengemplang dana BLBI Rp 650 triliun, saat ulang tahun di Bali. Sungguh ironi nasib bangsa Indonesia di tangan para pemimpinnya. af/hh

 

 

 


latestnews

View Full Version