View Full Version
Rabu, 19 Aug 2015

Demokrasi, Kendaraan & juga Jalan Tengah Menuju Hukum Syariah

JAKARTA (voa-islam.com)- Penulis buku Tohir Bawazier di dalam bukunya yang berjudul “Jalan Tengah Demokrasi, Antara Fundamentalisme dan Sekularisme” mengatakan bahwa demokrasi sesungguhnya telah ada di agama Islam, jauh sebelum Barat menjadikannya sebagai landasan Negara. Ia menyebutkan, hanya saja di dalam Islam bukan dijadikan sebuah tonggak sistem yang utama untuk pemerintahan, melainkan  hanya untuk jalan atau mekanisme untuk meraih.

Tohir, di dalam peluncuran bukunya, kemarin malam (19/08/2015) bahwa dalam agama Islam, demokrasi telah dipraktekan oleh nabi Muhammad s.a.w. “Demokrasi lahir jauh sebelum dipakai Barat saat ini. Islam lebih dulu menggunakan mekanisme demokrasi, yang prinsipnya pemimpin dipilih dari masyarakat,” ucapnya di salah satu hotel di bilangan Jakarta Pusat.

Hal semisal juga dikatakan oleh Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Cholil Ridwan. Kiai Cholil mengatakan, untuk demokrasi, di dalam Islam memang secara prinsip tidak ada. Namun, demokrasi baginya adalah sebuah kendaraan untuk menuju sistem yang diinginkan umat Islam secara keseluruhan, yakni berhukum atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.

“Demokrasi tentu bukan dari ajaran Islam. Namun untuk saat ini demokrasi bisa dijadikan kendaraan untuk menuju hukum-hukum yang bersyariah,” katanya yang turut hadir.

Dalam buku yang ditulisnya, banyak diangkat persolan umat yang pada dewasa ini memperdebatkan bagaimana sesungguhnya demokrasi itu bila dijalankan bagi seorang muslim. Baginya, ia yang mengaku sebetulnya tidak paham betul dengan politik, menyatakan saat ini umat masih bingung seperti apa keabsahannya.

Ada beberapa tiga kategori yang bisa dikatakan fundamental mengapa saat ini umat Islam khususnya menjadi seperti tidak ada pegangan dalam berpolitik. Padahal, sebelum meributkan demokrasi, umat Islam telah dihadirkan pola atau bentuk kekuatan bersama, yaitu terbentuknya sebuah partai tunggal pada tahun 1945: Masyumi.

Metode yang ia bagikan ini adalah “hasil” keinginan umat Islam untuk saat ini. Pertama ia menyebutkan ada umat Islam yang menghendaki berdirinya khilafah. Negara Islam yang tunggal. Kedua umat  menginginkan tegaknya hukum-hukum Islam (baca: syariat). Dan terakhir, ketiga adalah umat Islam yang ingin, apapun dan di manapun keberadaannya tauhid harus ditegakkan setinggi-tingginya.

“Dalam buku ini ada tiga model di kalangan Islam fundamentalis. Pertama, adalah khilafah. Negara islam yang tunggal. Kedua, yang penting syariah Islam ditetapkan. Ketiga, bentuk negara tidak begitu penting. Yang penting masyarakat muslim menginginkan tauhid tegak. Dan tidak tindakan atau perilaku melakukan maksiat,” bebernya.

Namun demikian, metode yang disebutkan di atas, dan keinginan umat Islam saat ini, tidak dapat dijadikan sebuah pegangan lantaran kita (umat Islam) belum siap menjemput dan memperjuangkannya. Ia menyebutlkan, misalnya saja di dalam ekonomi dan media.

Tohir, yang juga Direktur penerbitan Pustaka al-Kautsar ini menegaskan, untuk meraih itu semua, yang diperlukan saat ini ialah persatuan dan kesatuan umat di dalam mewujudkannya. Sementara, baginya Negara Indonesia dengan memiliki sistem Pancasila, di mana Sila Pertamanya telah mentauhidkan Allah subhana wa ta’ala lebih dari cukup menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pemerintahan yang berketuhanan, dan bukan Negara Sekuler.

“Sekularisme, sesuatu yang tidak ada hubungannya dengn agama. Negara tidak ada campur tangan dalam agama. Indonesia bukanlah Negara sekuler. Indonesia bukan Negara sekuler karena jelas di Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa,” tutupnya. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version