View Full Version
Senin, 24 Aug 2015

Ekonomi Memasuki Lampur Merah, Para Birokrat Melakukan Gerakan Slowdown

JAKARTA (voa-islam.com) - Di mana Presiden Jokowi sekarang. Krisis ekonomi sudah masuk wilayah 'redline' (garis merah). Tidak nampak tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah menyelamatkan ekonomi nasional dari hempasan badai krisis.

Jokowi hanya melakukan 'reshufle' menghadapi krisis yang menghempaskan ekonomi Indonesia, sangat tidak memadai. Terbukti langkah 'reshufle' tidak dapat mengubah kondisi ekonomi yang sudah berantakan.

 Situasi ekonomi di Tanah Air di zona merah. Kurs mata uang rupiah atas dolar AS pada Senin (24/8/2015) di titik terendah. Harus ada tindakan nyata untuk mengatasi persoalan krusial ini. Karena masyarakat kelas bawah pun terkena imbas.

Tapi, Presiden Jokowi sampai saat ini belum menawarkan rumusan mengatasi krisis ekonomi yang melanda di Tanah Air. Krisis yang semakin menghebat itu, salah indikatornya, nilai rupiah menukik mencapai Rp 14.038/1USD, hari Senin, 24/8/2015.

Presiden mengumpulkan kepala daerah, Kapolda, dan Kejati di Istana Presiden di Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan terkait penyerapan anggaran di tingkat daerah, Senin, 23/8/2015.

Setelah menggelar pertemuan dengan para kepala daerah, Kapolda, dan Kajati, Presiden menggelar pertemuan dengan 60-an Pimpinan BUMN dan perusahaan swasta. Pertemuan ini membahas persoalan ekonomi kekinian.

Penyerapan anggaran APBN sangat rendah, kurang dari 30 persen, ditambah penerimaan pajak yang menjadi sumber APBN, baru 15 persen. Ini benar-benar malapetaka bagi APBN. Mengapa?

Jokowi bukan hanya menghadapi krisis ekonomi, yang paling serius akarnya terjadi 'slowdown' para pegawai alias birokrat pemerintahannya. Mereka takut dibui. Sehingga, membiarkan APBN mandeg. Inilah ancaman paling serius. Jadi kalau para birokrat melakukan gerakan 'slowdown', mau apa lagi Jokowi?

Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie mengusulkan agar pemerintah membentuk pusat krisis (crisis center) untuk menghadapi persoalan ekonomi yang semakin sulit.
s
Aburizal melihat ekonomi di Tanah Air, Produk Domestik Bruto (PDB) disumbang 80 persen ekonomi yang berada di masyarakat serta hanya 20 persen di APBN. "Jadi kalau kita hanya fokus ke APBN masalahnya tidak selesai. Apalagi penyerapan anggaran sangat rendah jauh di bawah 50 persen," tegas Aburizal.

Menurut Aburizal Bakrie, situasi ekonomi saat ini telah membahayakan perekonomian Indonesia. Apalagi, sambung mantan Ketua KADIN ini, nilai mata rupiah atas dolar sudah menyentuh Rp14 ribu. "Ini membahayakan pemerintah dan dunia usaha," cetus Aburizal.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pertemuan yang digelar Presiden dengan Kepala Daerah, Kapolda, Kajati dan pelaku usaha dimaksudkan untuk memastikan penyerapan anggaran di daerah. "Serapan masih rendah belanja modal masih 20 persen, makannya para Gubernur ini harus didorong," kata Pramono di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin (24/8/2015).

Tapi bagaimana kalau kalangan birokrat terkesan melakukan gerakan 'slowdown', dan membiarkan anggaran APBN, mandeg? Mereka para birokrat takut masuk bui, dan berurusan dengan KPK atau Kejaksaan. Dampaknya APBN mandeg. Ekonomi tidak jalan.

Rendahnya penyarapan anggaran di daerah lantaran kekhawatiran adanya kriminalisasi menimpa kepala daerah. Dalam pertemuan tersebut, Pramono menyebutkan Presiden meminta agar ada payung hukum agar persoalan administrasi tidak lantas menjadi pintu masuk melakukan kriminalisasi terhadap kepala daerah.

Gerakan 'slowdown' membuat pemerintahan  Jokowi tidak bisa jalan. Ini semakin membuat dalam krisis ekonomi di Indonesia. Jokowi menuai badai krisis yang hebat, akibat permainannya sendiri. Ingin sok suci, sekarang menghadapi para birokrat yang melakukan gerakan 'slowdown'. Jokowi tidak berkutik menghadapi birokrasi Indonesia yang sudah korup. (dita/dbs/voa-islam.com) 

 

 


latestnews

View Full Version