View Full Version
Kamis, 27 May 2010

Hukum Bersafar Pada Hari Jum'at

Oleh: Badrul Tamam

Orang yang punya kewajiban melaksanakan shalat Jum'at, diharamkan bersafar pada hari Jum'at ketika mu'adzin sudah mengumandangkan adzan shalat Jum'at. Inilah pendapat yang paling rajih (benar) berdasarkan firman Allah Ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'at: 9)

Hal ini dikarenakan dia diseru untuk melaksanakannya makanya ia wajib menunaikannya. Tidak mungkin kewajiban itu dapat dilaksanakan kecuali dengan meninggalkan safar. Hal ini sesuai degan kaidah "Apa saja yang kewajiban tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna kecuali dengannya, maka dia menjadi wajib."

Terkecuali dia takut kehilangan kesempatan bertemu dengan kerabatnya. Jika takut kehilangan kesempatan itu, dia boleh bepergian karena hal itu menjadi alasan untuk tidak ikut mengerjakan shalat Jum'at, sekaligus menjadi alasan dalam safar setelah masuknya waktu shalat Jum'at ba'da zawal (tergelincirnya matahari). (Shalah al-Mukmin, edisi Indonesia: Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah, DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, 2/336)

Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni (III/247), menyandarkan kepada Imam al Syafi'i, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan "Tapi jika mengakhirkan safar atau menyegerakan menimbulkan kemadharatan atau karena sebab itu dia tertimpa kesulitan seperti takut tertinggal dari rombongan dan semisalanya. Atau safarnya dalam rangka melaksanakan perkara yang lebih wajib daripada shalat Jum'at seperti jihad fi sabilillah, maka dia boleh bersafar walaupun sudah masuk waktu shalat Jum'at."  Ibnu al 'Arabi berkata, "Perang (jihad) lebih utama daripada shalat Jama'ah Jum'at dan selainnya".

Imam al Syaukani menukil dari al Iraqi dalam Syarah al Tirmidzi, bahwa hujjah tegak di atas perkataan ini, "Ketika beberapa perkara wajib saling berbenturan maka didahulukan yang pokoknya. Dan tidak diragukan lagi bahwa berperang (jihad) lebih penting daripada shalat jum'at, karena Jum'at masih dapat diganti ketika terlewatkan, berbeda dengan perang, khususnya ketika sudah menjadi fardlu 'ain, maka dia wajib didahulukan." (Nailul Authar: 3/229).

Sedangkan pendapat para ulama dalam masalah ini sebagai berikut:

1. Madhab Hanafi. Dalam Tuhfatul Muluk milik al Raazi hal. 100: (Dibolehkan safar pada hari Jum'at sebelum tergelincirnya matahari dan sesudahnya). Sebagian mereka menyebutkan bahwa dibolehkannya ini selama waktunya belum berlalu karena wajibnya Jum'at menurut mereka pada akhir waktu." (Lihat al Bahr al Raaiq: 2/164)

2. Madhab Maliki. Ibnu al Jauzi berkata, "Dibolehkan bersafar pada hari Jum'at sebelum matahari tergelincir. Sebagian pendapat lain, dimakruhkan. Dan disepakati larangan bersafar sesudah zawal –tergelincirnya matahari-." (Qawaniin al Ahkam al Syar'iyyah: 56) yakni sepakatnya para ulama madzhab ini, bukan kesepakatan seluruh ulama. Khalil dalam Mukhtasharnya memberikan pengecualian pada safar setelah fajar pada hari Jum'at termasuk perkara yang makruh.

3. Madhab Syafi'i. Pendapat Imam Syafii dalam Qaul Qadimnya bahwa safar pada hari Jum'at sesudah fajar dan sebelum matahari tergelincir dibolehkan. Imam al Mawardi berkata, "Pendapat ini dipilih oleh Umar bin al Khatab, al Zubair bin al 'Awwam, Abu Ubaidah bin Jarah dan mayoritas tabi'in dan fuqaha'."

Sedanghkan dalam Qaul Jadidnya, Imam Syafi'  tidak membolehkan. Imam al Nawawi dalam al Majmu' berkata, "Dan ini yang paling shahih menurut kami, yakni menurut madzhab Syafi'i."

4. Madhab Hambali. Bahwa orang yang wajib melaksanakan shalat Jum'at tidak boleh bersafar setelah masuk waktunya. Dan dalam safarnya sebelum masuknya waktu terdapat tiga riwayat: melarang, memperbolehkan, dan dan melarangnya kecuali untuk jihad. Ibnu Qudamah dalam al Mughni memilih pendapat yang memperbolehkannya secara mutlak, karena terlepas dari Jum'atan. (Nailul Authar: 3/248). Dan ini, Insya Allah, pendapat yang paling rajih.

Memulai Perjalanan Sebelum Tiba Waktu Shalat

Tidak ada keterangan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang melarang seseorang mengadakan perjalanan pada hari Jum'at. Jadi boleh saja bepergian bila waktu shalat belum tiba.

Ibnul Mundzir -dalam kitab Al-Ausath (4/23) berkata, "Saya tidak mengetahui satu keterangan pasti yang melarang bepergian mulai awal siang hari Jum'at sampai tergelincir matahari di masa saat si muadzin mulai mengumandangkan adzannya. Nah, bila muadzin mulai mengumandangkan adzan, maka wajib bagi orang yang mendengarnya untuk pergi ke shalat Jum'at. Dia tidak bisa lagi menghindar dari suatu kewajiban yang harus dia laksanakan. Bila dia menunda kepergiannya pada hari Jum'at sampai waktu Jum'at selesai, itulah yang lebih baik."

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radliyallah 'anhu, bahwa dia melihat seorang laki-laki yang sudah tampak siap bepergian, maka berkatalah orang tadi, "Hari ini, hari Jum'at, dan kalau tidak karena hari Jum'at tentu aku sudah keluar". Umar berkata, "Sesungguhnya shalat Jum'at itu tidak mencegah orang bepergian, maka pergilah selama belum tiba waktu matahari tergelincir." (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 3/250 dan Ibnu Syaibah 1/442) dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath: 4/21 melalui jalur Al-Aswad bin Qays dari ayahnya dari Umar radliyallah 'anhu,  sanadnya shahih.)

Diriwayatkan dari Nafi pembantu Ibnu Umar, bahwa anak dari Said bin Zaid bin Nufail -suatu saat- sedang berada di sebidang tanahnya di daerah Al-Aqiq yang jauhnya beberapa mil dari kota Madinah. Lalu ia bertemu dengan Ibnu Umar di siang hari Jum'at, kemudian dia memberitahukan tentang masalahnya, maka pergilah Umar padanya dan meninggalkan shalat Jum'at. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: 1/443 dengan sanad yang shahi). Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama. (Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/157)

Riwayat yang Memakruhkan Safar pada Hari Jum'at

Terdapat beberapa riwayat yang melarang safar pada hari Jum'at, namun nilai riwayat tersebut lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah:

1. Dikeluarkan oleh Adz-Dzaruquthni dalam kitab Al-Afrad dari hadits Umar secara marfu: "Barangsiapa yang bepergian pada hari Jum'at, malaikat mendo'akan untuknya, semoga tidak ada yang menyertainya dalam perhalanan".

Ibnu Hajar berkata di dalam kitab At-Talkish (2/70), "Di dalam sanad hadits ini ada Ibnu Lahi'ah" Ini menandakan bahwa hadits tersebut tidak termasuk hadits yang pantas dijadikan hujjah, apalagi dalam matannya ada perselisihan dengan riwayat yang lebih kuat".

2. Dikeluarkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Asmaur Ruwah 'an Malik seperti yang tesebut pula dalam Nailul Authar (4/156) dengan jalur Al-Husain bin Alwan dari Malik dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu secara marfu. "Barangsiapa yang bepergian pada hari Jum'at, dua malaikatnya akan mendo'a semoga tidak ada yang menyertai dalam perjalanannya dan semoga hajatnya tidak terpenuhi".

Hadits ini dengan sanad tersebut adalah maudhu'. Sebabnya, Husain bin Alwan itu Taliful Hal (Keadaan/sifatnya tidak baik). Ibnu Main mengatakan dia itu pendusta,dan Ibnul Fallas mengatakan, 'Dia lemah sekali'. Sementara Abi Hatim, An-Nasai dan Adz-Dzaruquthni mengatakan, 'Dia itu hadits ditinggalkan'. Bahkan Ibnu Hibban mengatakan, "Dia itu pernah membuat hadits palsu". Al-Dzahabi dalam Al-Mizan (1/53) mengatakan, "Dan di antara riwayat yang dia palsukan atas nama Malik." Lalu Adz-Dzahabi menyebutkan hadits diatas.

3. Dikeluarkan Ibnul Mundzir (4/22) dari hadits Ibnu Umar radliyallah 'anhuma,  "Janganlah kau pergi sehingga engkau shalat Jum'at dulu, lalu engkau boleh pergi kalau engkau ingin".

Sanad hadits ini lemah, di dalamnya ada Abdul Aziz bin Ubaidillah bin Hamzah Al-Himshy, dia ini haditsnya lemah dan terkadang menyalahi riwayat perawi yang lebih kuat. Dan ternyata keterangan yang pasti dari Ibnu Umar bertentangan dengan pernyataan di atas.

4. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/443) dengan sanad yang shahih dari Ath-Tha dari Aisyah radliyallahu 'anha, dia berkata, "Bila engkau berada pada malam Jum'at maka janganlah engkau keluar hingga engkau sahalat Jum'at dulu".

Dan dari Ath-Tha pula, Ibnul Mundzir mengeluarkan hadits ini dalam Al-Ausath (4/22). Tapi hal ini bertentangan dengan pendapat kebanyakan para shahabat. Diriwayatkan dari Abi Ubaidah, keterangan yang membolehkannya hal ini disebutkan oleh Abdur Razzaq (3/250), dan perawi-perawi yang ada di sanadnya –menurut mereka- adalah terpercaya (tsiqah), hanya saja sanadnya terputus. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Ubaidah oleh Shalih bin Kisan, dan periwayatan ini adalah mursal. Wallahu a'lam . .

Kesimpulan:

Dibolehkan bersafar pada hari Jum'at sebelum masuk waktu Jum'at. Dan ketika seseorang bersiap untuk bersafar, dan adzan dikumandangkan atau sudah masuk waktu shalat Jum'at dengan tergelincirnya matahari, maka tidak diperbolehkan melakukan safar sehingga ia melaksanakan shalat Jum'at, kecuali ada kepentingan yang sangat mendesak, seperti menyambut seruan jihad.

Adapun riwayat-riwayat yang menerangkan larangan atau makruhnya safar pada hari Jum'at (bukan ketika sudah masuk waktu shalat Jum'at atau mu'adzin mengumandangkan adzan) adalah lemah, karenanya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan dasar hukum larangan bersafar pada hari Jum'at.

Namun demikian, bukan berarti safar di hari Jum'at dianjurkan. Karena banyak keterangan dari hadits shahih yang kemudian disimpulkan para ulama, bahwa di antara petunjuk beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersafar pada hari Kamis. Wallahu a'lam bil shawab.


latestnews

View Full Version