Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya serta umatnya hingga akhir zaman.
Disunnahkan menjaharkan (mengeraskan) bacaan dalam shalat Shubuh dan dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya'. Ini berlaku bagi Imam dan munfarid (orang yang shalat sendirin).
Menjaharkan bacaan ini juga berlaku pada shalat Jum'at, shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), shalat gerhana bulan, shalat istisqa', shalat Tarawih dan Shalat nafilah di malam hari. Selain yang disebutkan disunnahkan untuk men-sirri-kannya (memelankannya).
Permasalahan jahar dan siri dalam bacaan bukan persoalan fardhu atau sunnah yang diharuskan untuk sujud sahwi saat menyalahinya. Tapi ia salah satu dari bentuk tatacara shalat yang pelakunya diberi pahala atasnya. Sedangkan yang meninggalkannya tidak berdosa.
. . . Permasalahan jahar dan siri dalam bacaan bukan persoalan fardhu atau sunnah yang diharuskan untuk sujud sahwi saat menyalahinya. . .
Disebutkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى بِنَا فَيَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا وَكَانَ يُطَوِّلُ الرَّكْعَةَ الأُولَى مِنَ الظُّهْرِ وَيُقَصِّرُ الثَّانِيَةَ وَكَذَلِكَ فِى الصُّبْحِ
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah shalat bersama kami. Pada shalat Zuhur dan Ashar, beliau membaca al-Fatihah dan dua surat di rakaat pertama. Sesekali beliau memperdengarkan ayat yang beliau baca. Adalah beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari shalat Zuhur dan memendekkan pada rakaat kedua, begitu juga saat shalat Shubuh."
Ucapan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, "Sesekali beliau memperdengarkan ayat yang beliau baca," menunjukkag bahwa di dalamnya terdapat keterangan bolehnya menjaharkan pada shalat sirr (Zuhur dan Ashar). Ini juga menunjukkan bahwa Israr (mensirrikan bacaan) tidak menjadi syarat untuk sahnya shalat.
Terdapat keterangan bahwa sebab turunnya firman Allah Ta'ala:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً
"Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. Al-Isra': 110) saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam masih di Makkah. Apabila beliau shalat bersama para sahabatnya, beliau meninggikan suaranya saat membaca Al-Qur'an. Ketika kaum musyrikin mendengarnya maka mereka mencaci Al-Qur'an, mencaci Zat yang menurunkannya dan orang yang menyampaikannya. Lantas Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu." Maksudnya: jangan keraskan bacaanmu sehingga orang-orang musyrik mendengarnya.
"Dan janganlah pula merendahkannya," maksudnya: dari para sahabatmu sehingga mereka tidak mendengar Al-Qur'an. "Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu."
Terdapat dalam sebagian riwayat lain, "Maka saat sudah hijrah ke Madinah perintah tersebut telah gugur. Beliau boleh melakukan yang beliau kehendaki dari keduanya."
Dari sini menjadi jelas persoalan, menjaharkan bacaan pada shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh serta memelankan bacaan pada shalat Zuhur dan Ashar adalah pengamalan saat pertama disyariatkan. Yakni saat kaum muslimin tidak menjaharkan bacaan Al-Qur'an di siang hari khawatir atas celaan kaum musyrikin.
Adapun membaca secara jahar pada shalat Jum'at, dua hari raya, shalat istisqa' dan selainnya adalah karena shalat-shalat tersebut disyariatkan di Madinah sesudah hijrah, di mana saat itu kaum muslimin memiliki kekuatan dan daulah. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam]