BEKASI (voa-islam.com) – Pemberantasan terorisme di Indonesia tidak akan berhasil bila terorisme disamaartikan dengan jihad, lalu perang melawan terorisme diaplikasikan dengan memerangi mujahidin melalui tindakan represif.
Ungkapan Ustadz Abu Rusydan, mantan petinggi Jamaah Islamiyah (JI) ini diaminkan oleh para pemateri dalam acara Diskusi Interaktif Terorisme bertema "Masih Perlukah Mewaspadai ancaman Terorisme Pasca Tertangkapnya Jaringan Terorisme di Aceh & Keterlibatan Remaja dalam Aksi Terorisme" di Islamic Centre Bekasi) Kamis (31/3/2011).
"Kekeliruannya, selama ini pengertian jihad, teroris, pengeboman dan kekerasan atas nama agama digebyah uyah," jelas ustadz yang memiliki nama alias Thoriquddin dan Hamzah ini.
Menurutnya, jika perang melawan terorisme diaplikasikan dengan memerangi para mujahidin dan segala aktivitas jihad, maka pasti akan gagal. Karena jihad adalah kewajiban agama yang tidak akan berhenti sampai hari Kiamat.
"Jihad adalah istilah baku, istilah samawi dari Allah SWT yang tidak pernah berubah. Jihad dengan lisan, harta dan nyawa adalah syariat Allah adalah 'madhin ila yaumil qiyamah' yang selalu ada," jelasnya.
Mengutip nasihat Syaikh Abdullah Azzam, Abu Rusydan menyebut perang melawan terorisme yang dikumandangkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya adalah perang melawan Islam. Tamsilnya, jelasnya, Amerika dan sekutunya itu ibarat dua orang pemuda berpakaian putih yang menghunus pisau. Dengan semena-mena mereka menyembelih seekor kambing, sehingga baju putihnya terpercik darah sang kambing. Anehnya, dengan arogan dua orang pemuda itu menyebut kambing sebagai teroris karena menumpahkan darah. "Padahal terorisnya adalah dua orang yang menghunus pedang itu," tandas Abu Rusydan.
Karena sudah jelas siapa terorisnya, maka Abu Rusydan memberikan dua opsi untuk menyelesaikan problema terorisme, yang kuncinya ada di pihak Amerika Serikat dan Sekutunya.
"Tarik tentara Amerika dan sekutunya dari negara-negara Islam, lalu pulangkan ke negaranya masing-masing," tegasnya. "Lalu di Indonesia, polisi harus berakhlak lebih baik daripada orang yang mereka tuding teroris itu," tambahnya seraya menceritakan kebaikan akhlak Dr Azhari sehari-hari selama bermasyarakat.
Senada itu, jurubicara Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Ustadz Sonhadi, mengkritisi definisi terorisme yang selalu disalahgunakan untuk memerangi mujahidin.
"Jika kekerasan dilakukan oleh para mujahidin, maka disebut terorisme, ditangkap, disiksa atau dibunuh," ujarnya. "Tapi kalau kekerasan dilakukan semena-mena oleh Densus, maka dibela sebagai upaya penegakan hukum," kecamnya sembari menceritakan pengalamannya ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh Densus beberapa tahun silam.
Sementara Nasir Abbas, tampil dengan retorika yang agak lain dibandingkan dengan penampilan di layar televisi. Meski berbeda jalan dengan gurunya, mantan mujahidin binaan Abu Rusydan di Afghanistan ini menyayangkan pihak-pihak yang menuding mujahidin sebagai teroris.
Menurutnya, teroris berbeda dengan jihad. Jihad adalah syariat agama, sedangkan teroris adalah istilah yang tidak jelas definisinya. Beda pengertian teroris di Indonesia, tapi beda pula pengertiannya di Amerika.
"Saya tidak pernah mengakui bahwa jihad adalah aksi teror. Tidak pernah saya akui mujahid adalah teroris. Tidak pernah, karena itu adalah istilah yang bertentangan," paparnya.
Menurutnya, tidak mungkin istilah 'irhab' yang punya definisi tersendiri disamakan dengan teroris yang punya arti lain. Karena istilah teroris tidak pernah ada dalam Al-Qur'an.
"Yang ada adalah istilah 'irhab' atau 'turhibun' dalam Al-Qur'an," tegasnya. "Karenanya, saya tidak pernah setuju dengan istilah teroris, tapi masalahnya, istilah ini sudah menjadi bahasa hukum," imbuhnya.
Dua narasumber lain dalam acara tersebut adalah Dr Kiageng Fatah Wibisono (Ketua PP Muhammadiyah) dan KH Ahmad Syafi'i Mufid (Islamic Centre Jakarta). Meski berbeda organisasi dan latar belakang, keduanya sepakat agar umat terutama aparat keamanan tidak mengacaukan dan menuding mujahid sebagai teroris.
Tampil sebagai pembicara terakhir, Ki Ageng dan mengimbau masyarakat agar tidak mengelirukan makna jihad dengan terorisme. "Saya menggarisbawahi semua yang disampaikan para pembicara, bahwa kita semua setuju, jangan samakan jihad dengan terorisme. Jangan tuding mujahid sebagai teroris," ujarnya.
Dengan gaya berseloroh tokoh Muhammadiyah asal Lamongan ini menyatakan perlunya jihad di medan yang tepat. "Saya kitr Pak Nasir Abbas ini akan setuju bila bom itu meledak di Kedubes Amerika. Kalau ada demo besar-besaran lalu ada yang berhasil melompat pagar lalu meledakkan bom di Kedubes Amerika, saya kira tidak ada kutukan dari siapapaun itu," guyonnya. "Lebih setuju lagi kalau bom itu meledak di Amerika," ujarnya disambut tawa para pembicara lainnya.
Meski acara yang digelar oleh DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) itu berlangsung cukup bagus, tapi peserta sangat menyayangkan ketidakhadiran Irjen Pol. Tito Karnavian (Deputi II Badan Penanggulangan Terorisme). "Saya ingin mengonfirmasi berbagai kejanggalan berita terorisme akhir-akhir ini," ujar seorang peserta berasal dari pengurus Muhammadiyah Bekasi. [taz]