View Full Version
Selasa, 12 Apr 2011

Ormas Islam: RUU Intelijen Berpeluang Menjadi Pasal Karet

Jakarta (voa-islam) - Belum lama ini, sejumlah ormas Islam mengeluarkan pernyataan sikap di Kantor Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jl. Prof. Dr. Soepomo, Jakarta Selatan, terkait RUU Intelijen yang sedang dibahas DPR. Diantara ormas yang hadir diantara: al-Ittihad, Persis, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), GRN, PUI, PITI, Sarekat Islam (SI), KAHMI, DDII, Mer-c, KB-PII, HTI, dan MUI.

Dalam pernyatan sikapnya itu,sejumlah ormas Islam menolak RUU Intelijen, menolak kepada pihak terkait untuk membatalkan atau mengoreksi poin-poin tersebut, karena akan membahayakan kehidupan rakyat, khususnya aktifitas dakwah.

Seperti diketahui, saat ini DPR dan Pemerintah tengah menyusun paket undang-undang pertahanan nasional, diantaranya: Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen, RUU Komponen Cadangan dan RUU Keamanan Nasional.

Sebagian pihak menilai, aturan perundang-undangan ini mendesak. Secara khusus, terkait intelijen, di Indonesia belum pernah ada aturan setara undang-undang yang mengatur badan intelijen sejak dibentuknya.

Awalnya, pada 7 Mei 1946, sebuah badan yang disebut Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis dengan bagian yang disebut Field Preparation (FP), kemudian mengalami beberapa kali perubahan, dan akhirnya, pasca reformasi (tahun 2000) Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) diganti menjadi BIN (Badan Intelijen Negara) hingga saat ini.

Nah, dalam RUU Inteleijen yang baru, juga dimungkinkan terbentuknya lembaga baru yang menggantikan BIN, yang disebut LKIN (Lembaga Kordinasi Intelijen Negara) seperti yang diusulkan.

Beberapa waktu lalu, Rabu (16 Maret 2011), pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, serta Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto, menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Intelijen ke DPR. Langkah ini dinilai sebagian pihak, sebagai langkah yang ganjil, karena momentumnya dilakukan pada saat maraknya kasus “bom paket”.

Seolah menjadi “berkah” bagi pihak pemerintah untuk segera menuntaskan program legislasi dibidang pertahanan dan keamanan negara yang dianggap erat dengan masalah keamanan dan pertahanan nasional. Tidak hanya “bom paket”, tapi muncul “dewan revolusi Islam”, dimana ideologi dan agama dinilai sebagai pemicu benih-benih subversi.

RUU intelijen yang dibahas oleh DPR, demikian pula Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disodorkan pemerintah, mulai menuai banyak kritikan. Karena dalam pembahasan RUU tersebut dianggap mengakomodir prinsip-prinsip performan intelijen yang professional tanpa mengabaikan hak-hak prinsip kemanusiaan.

Lebih penting lagi adalah steril dari kepentingan politik dan mencegah terjadinya  “abuse of power “ atau penyalahgunaan kekuasaan, dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi penguasa, jual-beli informasi, serta melanggar hak-hak privasi warga negara, karena adanya pasal-pasal karet dan multitafsir.

Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Harits Abu Ulya mengingatkan, dalam menyusun dan merumuskan RUU Intelijen harus dilandasi oleh prinsip kehati-hatian. Khususnya, ketentuan atau kebijakan yang terkait dengan kewenangan, hak dan kewajiban asasi manusia, dan penentuan sanksi hukum.● Desastian


latestnews

View Full Version