Jakarta (voa-islam): Ada yang aneh dari hasil survei “jadi-jadian” Lazuardi Birru tentang isu radikalisme dan terorisme. Hasil survei itu menunjukkan, indeks radikalisme Indonesia setahun terakhir menurun, meski belum dalam batas aman. Lazuardi pun memapping (memetakan) beberapa daerah yang dianggap rawan radikalisme, diantaranya: Aceh, Jawa Barat dan Banten.
Dalam press releasenya yang dibacakan oleh Ketua Lazuardi Birru Dhyah Madya Ruth SN Lazuardi Birru, mengumumkan, indeks kerentanan radikalisme di Indonesia pada 2011 adalah 43,6 menurun menjadi 1,44 dibanding tahun sebelumnya yang memiliki indeks 45,4. Meski begitu, ungkap Lazuardi, statusnya masih rentan dan jauh dibawah tingkat aman, yaitu pada level 33,3.
Lazurdi, sebuah LSM yang selama ini menjadi mitra BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) itu, memetakan etnis yang dinilai rentan terhadap radikalisme social dan keagamaan, diantaranya menyebut etnis Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Bugis, Betawi, Minang dan lainnya. Islam ditempatkan paling teratas sebagai agama yang dicap suka kekerasan.
Yang mengherankan, Lazuardi Birru merangkum indeks kerentanan radikalisme social-keagamaan, beserta indeks factor-faktor lain yang dipandang saling berhubungan langsung, diantaranya: Tindakan radikal, Sikap radikal, Jihadisme, Dukungan terhadap organisasi radikal, Agenda Islamis muamalah, Agenda Islamis jinayah, Alienasi dan Deprivasi, Intoleransi, Perasaan terancam, Perasaan tidak aman.
Lazuardi mempersoalkan agenda Islamis berdasarkan sikap masyarakat muslim terhadap agenda beberapa aturan yang dipercaya sebagai hukum Islam, Diantaranya potong tanga, rajam, pelarangan bunga bank dan pacaran.
Penelitian ini jelas-jelas menunjukkan anti syariat Islam, Islamphobi, bahkan ingin menjadikan negara ini liberal seliberalnya. Padahal dalam Islam, jelas-jelas, pacaran yang bisa menimbulkan mudharat, adalah syariat yang tidak bisa dibantah. Tapi oleh Lazuardi – yang bukan lembaga agama, apalagi tidak layak mewakili Islam – ini justru memberi fatwa menyesatkan: membolehkan pacaran.
Menurut Dhyah Masdya Ruth, secara nasional, trend radikalisme menunjukkan adanya penurunan sejumlah komponen indeks kerentanan radikalisme, yaitu sebagai akibat berkurangnya jumlah partisipasi dan dukungan dari masyarakat terhadap aksi-aksi radikal.
Lazuardi menyebutkan, indeks tindakan radikal pada tahun 2010 sebesar 24,7. Indeks ini menurun pada tahun 2011 yang mencapai 20.0. Penurunan indeks tindakan radikal sebesar 4.70 ini menyatakan berkurangnya muslim yang terlibat dalam berbagai aksi radikal.
Aneh bin ajaib, meski survey menjelaskan, tindakan radikal menurun, tapi Lazuardi tetap saja menyebut organisasi-organisasi Islam, seperti FPI, HTI, Ikhwanul Muslimi, sebagai organisasi radikal, yang diidentikkan dengan kekerasan. Jelas, hasil penelitian ini menjadi tidak fair. Bahkan terkesan tendensius, dibayang-bayangi oleh kebencian dan sikap paranoid yang amat sangat. (Desastian)