View Full Version
Jum'at, 23 Dec 2011

Petrus Golose: Tidak Setuju Sel Khusus Teroris, Dianggap Ajang Reoni

Jakarta (Voa-Islam) – Kombes Petrus Golose dari BNPT dalam sebuah diskusi “Mencari Format Perlakuan Narapidana Teroris” di Kampus FISIP Universitas Indonesia (UI) Depok, menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya blok atau sel khusus untuk para narapidana kasus teroris. Alasannya, sel khusus bisa menjadi ajang reoni para teroris untuk kembali menyusun kekuatan dari dalam penjara.

“Jika mereka dikelompokkan dalam sel khusus, saya khawatir akan jadi ajang reoni dengan sesama teroris. Setidaknya, dilakukan pengawasan, tanpa harus mengabaikan hak-haknya.  Kalau pun dimasukkan sel khusus, harus ada intervensi dari tim yang terstruktur dan terukur, dengan tetap dipantau oleh tim deradikalisasi, tidak cukup hanya dibina oleh pejabat Lapas saja,” ujar Petrus merekomendasi usulannya.

Petrus yang kini menjadi buronan nomor wahid “mujahidin” itu mengaku, banyak polisi yang terpengaruh bisikan dan tausyiah beraroma propaganda oleh napi kasus teroris di dalam penjara. Jangankan dengan sesama mereka, polisi dan petugas penjara pun tak sedikit yang terpengaruh dengan tausyiahnya.

Ia mencontohkan, seorang Togar, yang terlibat aksi bom Marriots mampu mengorganisir di dalam penjara. Bahkan seorang Mukhlas Ali Ghufron, pelaku aksi bom Bali, dengan kharismanya bisa mendoktrin polisi dengan ideologinya. Begitu juga dengan Herry Kuncoro yang saat ini masih berada di dalam tahanan, bisa mengancam petugas dan mempengaruhinya. Hebatnya lagi, pasukan khusus sekalipun mampu ia pengaruhi.

Suatu ketika, kata Petrus, ada salah seorang tim penyidik yang mencium tangan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. “Melihat itu, saya bilang kepada tim penyidik, kamu tak perlu cium tangan Ustadz Abu.  Meskipun seorang ustadz,dia itu penjahat,” ketus congor busuk Petrus menggebu-gebu.  

Petrus yang Cemas


Dalam diskusi yang diadakan oleh BNPT bekerjama dengan Himpunan Mahasiswa Kriminologi (HMK) UI, Petrus mengatakan, banyak napi teroris yang justru menyusun buku propaganda dengan dalil-dalilnya. “Peneliti dari Departemen Kriminologi UI saja kalah, tidak se-produktif mereka yang banyak membuat buku-buku semacam itu,” kata Petrus terheran-heran.

“Bahkan, di dalam penjara, mereka masih bisa membuat dan mengelola grup chatting. Ketika itu, belum ada Wifi. Mereka bekerjasama dengan petugas penjara, kabel pun susupi, komputer dikirim melalui sipir penjara tadi,” kata Petrus.

Dikatakan Petrus, kini sudah 21 napi teroris yang telah diproses rehabilitasinya melalui program deradikalisasi. “Kita ingin tahu, apakah setelah ditangkap dan divonis penjara, bisa berubah atau tidak.”

Lagi-lagi dalam sebuah forum, Petrus Golose menyebut Jamaah Islamiyah, Mujahidin Kompak, Jamaah Tauhid Wal Jihad sebagai residivis. Katanya, mereka paling senang jika ada konflik Horisontal, seperti di Ambon dan Poso. “Itulah sebabnya, kami selalu menjaga kedua wilayah itu agar tidak terjadi konflik horizontal,” ujarnya.

Prapagandis BNPT itu lalu menyebut, Ustadz Aman Abdurrahman sebagai tokoh paling berbahaya. “Dia punya ideologi yang sangat radikal. Ia sudah sering keluar masuk penjara. Bahkan ia masih bisa membuat buku propaganda di dalam penjara. Kasus bom Cirebon dan Solo adalah sebuah aksi yang terinspirasi dari ajaran dan ideology Aman Abdurrahman,” ungkap Petrus Golose menuduh.

Petrus mengakui, ia adalah termasuk salah satu tokoh yang paling dicari oleh para ikhwan, hidup atau mati. Urutannya adalah 1) Peter Golose (BNPT), 2) Goris Mere 3) Guntur Romli (Jaringan Islam Liberal).  Petrus juga mengakui, bahwa dirinya begitu cemas dan khawatir, antara bisa pulang  ke rumah atau tidak.

Itulah sebabnya, kemana-mana ia selalu membawa senjata untuk pengamanan dirinya. Di depan mahasiswa, Petrus pun menunjukkan senjata miliknya, seraya menggertak mahasiswa. Katanya, jika ada mahasiswa UI yang terlibat terorisme, siap-siap akan berhadapan dengannya.

Bagaimanapun, diakui Petrus, polisi tidak bisa sepenuhnya menangani aksi dan tindakan teroris di dalam negeri. Perlu ada kerjasama dengan institusi lain, termasuk dengan kalangan akademis (kampus). “Sebab yang kita hadapi adalah ideologi yang sangat berbahaya,” kata Petrus mengakhiri kalimatnya. (Desastian)

 

 


latestnews

View Full Version