View Full Version
Kamis, 17 May 2012

Mantan Penginjil di Gunung Sindur: Katolik itu Selalu Berkamuflase

Bogor (VoA-Islam) – Menyikapi isu adanya pondok pesantren di kawasan Gunung Sindur- Bogor, Jawa Barat, yang hendak dijual oleh Dewan Gereja, tokoh masyarakat Ustadz Bukhori Firmansyah yang juga mantan Katolik ini mengaku terkejut.

“Terus terang, saya terkejut mendengar isu ada pesantren, tak jauh di tempat saya tinggal, yang katanya mau dijual oleh gereja yang dananya dibiayai langsung dari Vatikan. Saat ke Bekasi, saya ditegur oleh seorang kawan sesama aktivis dakwah, yang memberi tahu tentang kabar pesantren yang dijual kepada gereja. Sebagai warga Gunung Sindur, saya malah tidak tahu ada informasi seperti itu,” kata Bukhori yang mantan penginjil itu kepada Voa-Islam di kediamannya di Gunung Sindur.  

Sejak itulah Bukhori mencari tahu kebenaran berita itu. Sekaligus melakukan tabayun alias check and riceck kepada pihak keluarga pengelola pesantren Darul Ihsan yang berlokasi di Kelurahan Curug, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.

“Alhamdulillah, saya berhasil menemui pengelola pesantren Darul Ihsan, Ibu Nurhasanah, dan langsung saya tanyakan, apa benar pesantren hendak dijual ke gereja? Ternyata, Ibu Nurhasanah membantah rumor bahwa pihak keluarga telah menjual ke gereja. Mendengar itu saya sangat lega, dan bersyukur bahwa Ibu Nurhasanah dan pihak keluarga termasuk muslimah yang masih istiqomah dan komitmen terhadap Islam. Secara pribadi, ia sendiri merasa berat hati untuk menjual pesantren yang didirikan oleh almarhum ayahnya,” tukas Bukhari dengan logat Jawanya yang masih kental.

Sebagai mantan misionaris Katolik, Bukhori mengakui, bahwa kawasan Gunung Sindur memang sudah lama menjadi target Kristenisasi. Mereka mengincar Gunung Sindur untuk dijadikan basis yang diduga memiliki link (hubungan erat) dengan Lembah Karmel yang ada di Cianjur. Seperti diketahui, agama Katolik adalah agama yang terbesar di dunia. Mereka mempunyai khilafah, dimana ucapan  seorang Paus adalah fatwa yang akan didengar oleh umat Katolik di seluruh dunia.

“Sementara umat Islam tidak punya khilafah lagi, sejak runtuhnya Khilafah Utsmani. Hizbut Tahrir yang selama ini mengusung khilafah, atau Ikhwanul Muslimin yang menjadi penguasa harus diakui belum bisa bersinergis satu sama lain,” kata Bukhari menyayangkan.

Bisa dibayangkan, lanjut Bukhari, dengan isu lahan dan aset pesantren akan dijual kepada pihak gereja. Tentu, mereka bisa dapat untung besar, kalau membawa isu itu keluar, sehingga mereka akan mendapat kucuran dana yang sangat besar. “Kalau cuma beli lahan kosong itu sih biasa, dan agak sulit lembaga asing mengucurkan dana. Tapi, kalau membeli lahan atau pesantren  milik umat Islam, bisa dipastikan gelontoran dana yang masuk bisa mencapai triliunan rupiah,” kata Bukhari tahu persis.

Betul saja, ternyata ada pihak calon pembeli pesantren yang berani membeli dengan harga tinggi, yakni sebesar Rp. 20 M. Padahal, pihak keluarga pengelola pesantren akan melepas harga Rp. 8 M. “Kalau dilelang, umat Islam berani bayar berapa. Kalau mereka berani beli dan membayar 20 M, umat Islam masih berpikir seribu kali. Akhirnya kita kalah di pelelangan.”

Pesantren Seharusnya Berstatus Wakaf

Sebagai pelajaran bagi pesantren-pesantren yang lain, Bukhari menyarankan kepada pihak pengelola pesantren di Tanah Air, hendaknya membenahi dan perlu dilakukan penertiban terhadap pemberian status pesantren, yakni dengan mengurus wakafnya. Jangan sampai lahan kepemilikan pesantren masih berstatus milik pribadi, akibatnya terjadi konflik di dalam keluarga, terlebih  jika suatu ketika ahli waris tidak mendapat wasiat hitam di atas putih dari orang tua yang ditinggalkan.  

“Kasus pesantren bangkrut, sebetulnya menjadi tugas Kementerian Agama, Majelis Ulama dan lembaga-lembaga formal lainnya, dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai pusat. Pemerintah harus peduli dan segera action, masalah ini jangan dianggap kecil dan remeh, karena sangat berdampak luas,” tandas Bukhari.

Jika sampai terjadi, pesantren dibeli Dewan Gereja yang dananya dibiayai dari Vatikan, Bukhari yakni, masalah ini bisa berbuntut panjang. “Kalau sampai benar-benar terjadi, bisa jadi SARA, meski awalnya adalah salah umat Islam itu sendiri yang tidak mau tahu urusan seperti ini.”

Mantan Katolik itu memberi warning, Katolik itu akan selalu berkamuflase. Ngakunya mau bual sarana pendidikan, perumahan, mall, panti jompo, panti asuhan dan lembaga social lainnya. Setelah gedungnya berdiri, lalu dibuatlah ruang khusus untuk menggelar acara kebaktian. Umat Islam akan kembali kecolongan dan tertipu dengan akal bulus misionaris Katolik.

Kecolongan itu sudah terjadi, seperti dibangunnya gedung rumah asuh yatim “Abba” di kelurahan Curug-Gunung Sindur.  Bukhari sendiri sudah curiga, kok ada bangunan berbentuk kubah (seperti masjid), tapi dengan nama Abba, yang merupakan bahasa Ibrani yang berarti bapak. Benar saja, rumah asuh itu ternyata dikelola oleh Katolik.

“Warga Gunung Sundur boleh dbilang masih tradisi betul. Masyarakatnya tak terlalu bereaksi ketika mendengar ada pesantren yang akan dijual gereja. Persoalannya, bukan hanya masalah ekonomi saja, rata-rata mereka miskin wawasan keislamannya. Ironisnya, itu terjadi dari generasi ke generasi,” ungkap Bukhari menyesalkan. Desastian

 


latestnews

View Full Version