View Full Version
Kamis, 17 May 2012

Missionaris Kristen Berinvestasi Jangka Panjang 5-10 Tahun ke Depan

Bogor (VoA-Islam) - Di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, tempat mantan Katolik Bukhori Firmansyah tinggal, rupanya diam-diam ia membendung Kristenisasi dengan cara simpati. Tampil low profil, ia memberi solusi permasalahan yang ada di masyarakat. Misalnya, petani yang mengeluh panennya gagal, akibat tak punya uang untuk membeli bibit dan pupuk, lalu oleh Bukhori diusahakan membantu mencari solusinya.

“Ketika saya tanya, berapa biaya yang dibutuhkan untuk beli bibit plus pupuknya? Dia jawab, Rp. 200 ribu. Lalu saya coba membantu. Yang jelas, saya bukan orang kaya, tapi saya carikan uang untuk beli bibit dan pupuk dari orang yang dermawan. Saya ini miskin, tapi rumah ini seperti rumahnya orang kaya. Setiap ada masalah, pasti datangnya ke rumah ini. Yang anaknya sakit, mengadunya juga ke sini,” ungkap Bukhori tanpa bermaksud riya.

Dengan memberi solusi seperti itulah, Bukhori yang mantan penginjil ini, menjadi insipirasi bagi kristolog lainnya. Menurutnya, memberi solusi adalah benteng yang paling kokoh dan efektif untuk menangkal kristenisasi yang ada di perkotaan maupun pedesaan. Yang menarik, meski Bukhori bukan orang berpunya, ia angkat dua anak pengamen jalanan yang masih kecil sebagai anak asuhnya. Anak itu ia temui saat bermain di masjid.

“Jangan takut miskin. Jika kita menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong kita. Inilah dakwah bil hal, diam tapi melaksanakan. Anak butuh pendidikan, harus disekolahkan. Sekarang kan ada fasilitas gratis. Makanya diperjuangkan.”

Bukan rahasia lagi, missionaris terus bergerilya ke desa-desa dengan segala cara. Di desa terpencil, mereka selalu menggunakan pendekatan yang mengundang simpati. Caranya, jika ada masyarakat yang ingin buka warung, tidak disuruh masuk Kristen dulu, tapi dimodali.

Trik yang Menipu

Trik lain Kristenisasi yang dilakukan missionaries adalah menikahi gadis desa, dengan membiayai pernikahannya. Yang satu ini, sering dipandang sebelah mata, karena dianggap lakum dinukum wa liyadin. Tapi apa dampaknya di kemudian hari? “Anak yang lahir dari orang tua yang dulu dibiayai nikahnya, telah dikristenkan. Caranya dengan membaptis anak laki-laki. Itulah yang biasa dilakukan misionaris Katolik,” ungkap Bukhori.

Berkedok kemanusiaan, missionaris terus melancarkan aksi Kristenisasi. Tapi masyarakat awam malah protes, katanya, apa salahnya membantu? “Justru itu, missionaris hendak menarik hati orang yang menjadi garapannya. Inilah pintu masuk gerakan pemurtadan. Mereka seperti berinvestasi jangka panjang. Programnya adalah untuk 5-10 tahun ke depan. Kuncinya, sabar dan keuletan,” kata Bukhori, seorang mantan Katolik.

Para pendakwah memang harus belajar dari missionaris. Sebelum terjun ke lapangan, misalnya, calon missionaris dibekali dengan ilmu plus mentalnya. Mereka ditempa agar bisa survival (bertahan) di daerah terpencil. Termasuk diajarkan mengenal jenis tanaman, mana yang beracun dan mana yang bisa dimakan. Mereka dibekali pengetahuan untuk mengenal medan dan kultur masyarakatnya.

Tidak sekadar dijejali ilmu agama, tapi mempelajari bahasa setempat, minimal 6 bulan. Biasanya jika tak lulus akan ditunda pengirimannya. Tak heran, jika banyak missionaris yang mengambil program studi pasca sarjana (S2), khusus memperdalam ilmu Antropologi. Idealnya memang, pendakwah harus menguasai bahasa, ilmu pertukangan, dan pertanian.

Di wilayah pedesaan seperti Gunung Sindur, misalnya, pergaulan bebas bak bola salju. “Setiap malam minggu, anak-anak muda kerap mojok di kebun kopi. Tahun kemarin, saya bersama jamaah masjid menggrebek tiga pasang muda-mudi. Di kebun kopi itu, kami temukan alas koran dan kondom. Untuk hal ini, kenapa kita kurang peduli,” kata Bukhori.

Berdayakan Ekonomi

Para kristolog sepakat, untuk membendung Kristenisasi, harus dengan memberdayakan ekonomi masyarakat setempat. Tidak cukup memobilisasi dengan pengerahan massa, seperti tabligh akbar.

Ormas Islam, lembaga anti pemurtadan, termasuk lembaga zakat maupun lembaga pelayanan medis, seperti Mer-C, Dompet Dhuafa dan sejenisnya, seharusnya bersinergis. Inilah gerakan yang secara tidak langsung telah mengantisipasi gerakan pemurtadan, melalui pemberdayaan ekonomi, social, pendidikan, termasuk pelayanan kesehatan.

Diakui, menangani gerakan anti pemurtadan sangat sulit. Kalau hanya ceramah, duduk di masjid selesai. Tentu patut diapresiasi, apa yang sudah dilakukan organisasi dakwah anti pemurtadan yang menangani pendangkalan akidah, yakni  dengan memberi wawasan kepada masyarakat tentang kajian tauhid, bagaimana cara berdebat dengan Islamolog dari kalangan Nasrani. Buku-buku dan VCD tentang bahaya Kristenisasi yang diterbitkan harus dihargai sebagai bentuk kontribusi yang positif.  Karena dakwah dalam bentuk kajian ini tak kalah penting.

Namun ada masukan dari sesama Kristolog, lembaga anti pemurtadan harus lebih fokus dengan strateginya. Tidak cukup menginformasikan tentang agenda global Kristenisasi. Tapi, membuat peta dakwah dan program jangka panjang. Tengoklah bagaimana seorang pendeta menanam trust kepada masyarakat lokal. Sekalipun tanah masyarakat sudah dibeli, namun pendeta itu memperbolehkan lahannya untuk digarap oleh petani. Inilah daya tarik mereka di pedesaan, khususnya di Cianjur.

Saat membeli tanah di wilayah pedesaan, mereka merangkul tokoh muslim abangan untuk dijadikan perantara. Sebagai kamuflase, tukang ojek diiming-imingi, jalan di desa ini akan diperbaiki. Lalu ditekenlah MoU. 

Saran bagus dikemukakan Bukhori, “Lakukanlah langkah operasional seperti orang Katolik, yakni, door to door. Itu cara yang paling efektif. Kenapa pastor-pastor bisa melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, sedangkan  ustad-ustad jarang, bahkan hampir tidak pernah. Juga, kenapa para imam setelah shalat, tidak berdiri di pintu masjid, untuk menyalami jamaahnya yang pulang. Kenapa pendeta bisa?”

Terbukti, Bukhori berhasil mem”bonsai” gereja Katolik di Gunung Sindur menjadi tidak berkembang. “Jamaahnya import, dari Cibinong, dijemput dengan mobil agar terkesan gereja itu banyak jamaahnya. Dengan memberi solusi, Alhamdulillah, masyarakat muslim di sini gagal dipengaruhi, sekalipun dengan iming-iming tertentu,” imbuhnya.

Lebih jauh, Bukhori berbagi cerita saat masih menjadi Katolik, kalau ada jamaah yang sedang termenung, pastor itu menghampiri, lalu ditanya, anda darimana, siapa namanya, ada masalah? Jika ada orang asing, yang bukan jamaahnya, seorang pastor pasti akan mendekati. “Sistem yang dipake Katolik itu sebenarnya menggunakan sistem Islam, door to door tadi. Memang seperti itulah dakwah yang paling efektif. Kepekaan harus dimiliki oleh seorang pendakwah. Makanya kudu dibudidayakan,” tandasnya. ■ Desastian


latestnews

View Full Version