View Full Version
Rabu, 20 Jun 2012

Menjawab Stigmatisasi soal Penerapan Syariat Islam (Bagian I)

Jakarta (Voa-Islam) - Menarik membedah buku “Islam dalam Berbagai Dimensi” yang ditulis oleh DR. Daud Rasyid MA, penerbit Gema Insani Press, Jakarta 1998. Dalam Bab III tentang Hukum Islam, Daud Rasyid mengurai pemahaman hukum dan syariat Islam, sekaligus menjawab tuduhan negatif terhadap penerapan hukum Islam dengan segala referensi yang dimilikinya.

Judul “Salah Paham Terhadap Islam” pernah muncul dalam karya ilmiah yang ditulis oleh Muhammad Quthb, seorang ulma dari Mesir, dalam bukunya Syubuhat Haula al-Islam. Syariat sebagai satu aspek dari ajaran Islam yang universal dan komprehensif, sering digambarkan secara keliru oleh sebagian orang, khususnya kalangan hukum.

Hukum Islam sering dipandang dari satu sisi saja, tanpa melihat sisi lain. Ibarat orang buta meraba gajah. Ketika yang terpegang olehnya belalai gajah, ia mengatakan bahwa gajah itu bulat, panjang dan mengecil ke ujung. Jika ia dikoreksi dan digambarkan kepadanya bentuk gajah yang sesungguhnya, ia menolak.

Hukum Islam sering ditampilkan dan ditafsirkan sebagai suatu “vonis”. Karena itu, tidak heran mengapa ada yang mengatakan bahwa hukum Islam itu kejam, sadis dan tidak manusiawi. Setiap mendengar ungkapan “Hukum Islam”, maka yang tersirat dalam benak mereka, tidak lebih dari sekedar hukum potong tangan, hukum rajam, dan qishas yang dapat dikategorikan sebagai “vonis”.

Begitu juga, setiap kali mendiskusikan “syariat Islam, sering tertuju kepada kasus-kasus pidana belaka, padahal hukum pidana, yang dalam istilah fiqihnya disebut “Fiqh Jinayat”, hanyalah salah satu cabang dari Hukum Islam yang luas.

Ini karena, bila hukum Islam berlaku, maka dapat dibayangkan, posisi penjajah pasti terdesak, sebab Islam menentang setiap penjajahan dalam semua bentuknya. Penjajahan dalam pandangan Islam, tidak hanya bertentangan dengan hak asasi manusia, bahkan lebih jauh dari itu, bertentangan dengan akidah tauhid, bagian yang paling fundamental dalam Islam.

Akan tetapi sayangnya, setelah penjajahan fisik berakhir, tuduhan-tuduhan tidak beralasan itu tidak hanya muncul dari pihak Barat, tetapi juga datang dari kalangan terpelajar Muslim sendiri, yaitu mereka yang kurang memahami spirit Hukum Islam secara baik, khususnya mereka yang dididik oleh Barat.

Akibat arus ideologi Barat yang berkembang demikian deras melalui pendidikan, budaya, dan cara berpikir, sementara pengetahuan tentang Islam relatif lemah. Sehingga mereka pun dengan mudah terpengaruh oleh berbagai isu negatif tentang Hukum Islam.  

Salah Paham soal Hukum Islam

Prof. Dr. Abdul Nasser el-Attar, seorang pakar hukum dari Mesir, dalam bukunya Madkhal Li Dirasat al-Qanun (Pengantar Studi Hukum Islam), menganalisa tuduhan-tuduhan  yang dialamatkan kepada Hukum Islam dan mencoba memberikan jawabannya yang objektif dan jernih.

Diantara isu-isu itu antara lain, bahwa hukum yang lahir pada abad-abad terdahulu tidak sesuai lagi untuk abad ini, karena perangkat hukum tersebut tidak lagi mampu memberikan jawaban  bagi permasalahan modern. Sebagai contoh, hukum modern yang mengatur tentang asuransi, perbankan, PT, administrasi dan lain-lain. Alasan ini keliru disebabkan kurangnya memahami hakikat Hukum Islam.

Menurut Daud Rasyid, sebenarnya, diantara hukum-hukum yang lahir pada abad-abad lampau, ada sistem yang masih tetap berlaku hingga saat ini. Misalnya “Hukum Napoleon” yang lahir pada tahun 1804 dan pada kondisi yang jauh berbeda dengan kondisi sekarang, namun masih tetap dipakai di Prancis dan wilayah jajahannya, sebagaimana Belanda berasal dari Code Penal Prancis. Lalu, apakah penerapan Hukum Prancis dianggap sebagai kemajuan dan perkembangan, sedangkan penerapan Hukum Islam pertanda kemunduran dan keterbelakangan?

Sekiranya tolok ukur yang dipakai untuk menentukan terpakai atau tidaknya suatu produk hukum adalah kurun waktu lahirnya hukum itu, maka tentu jauh lebih kadaluarsa lagi kaidah-kaidah hukum yang berasal dari Hukum Romawi Kuno, sebab Kerajaan Romawi Kuno telah ada jauh sebelum datangnya Islam. Kemudian hukum tersebut diterjemahkan ke dalam Hukum Prancis dan Belanda, dan masih tetap diberlakukan hingga sekarang sebagai hukum positif.

Dengan demikian, Syariat Islam adalah sistem hukum yang bersifat alamiah (mendunia), tidak dibatasi oleh sekat-sekat territorial tertentu, dan siap diterapkan pada setiap kurun waktu dan tempat. Karena watak sumber (mashdar) hukumnya yang bersifat murunah (elastis) sehingga memungkinkan kita untuk meng-istinbat (mencari penyelesaian) atas setiap masalah yang dihadapi, kapan dan dimana saja.

Satu hal yang harus dipahami secara baik, bahwa tuntutan menerapkan Hukum Islam bukanlah berarti anti-modernisasi atau mem “peti-es” kan studi ilmu hukum modern. Akan tetapi, pelaksanaan Hukum Islam berarti konsekuen terhadap Hukum yang berasal dari Pembuat Hukum tertinggi, Allah Swt.

Sebenarnya dengan pelaksanaan Hukum Islam, berarti melakukan reformasi pemikiran dan inovasi pembahasan yang kontinyu untukmenemukan yang baru dan relevan dengan hukum syara’. Lebih dari itu, Hukum Islam adalah ciptaan Allah Swt yang Maha Tahu tentang kondisi manusia, bersifat universal, kekal sampai yaumul hisab, serta terlepas dari segala pengaruh hawa nafsu dan kepentingan sepihak. Bagaimana mungkin kita meninggalkannya. (Desastian/GIP)


latestnews

View Full Version