View Full Version
Selasa, 22 Jan 2013

Peraturan Menkes RI: Khitan Perempuan Tidak Dapat Dilaksanakan,Jika..

JAKARTA (VoA-Islam) – Dalam rangka memberikan perlindungan pada perempuan, pelaksanaan sunat perempuan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama, standar pelayanan, dan standar profesi untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan yang disunat.

Demikian Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Permenkes yang ditetapkan di Jakarta pada 15 November 2010 itu ditandatangani oleh Menteri Kesehatan sebelumnya, yakni (Almarhumah) Endang Rahayu Sedyaningsih. Permenkes ini telah diketahui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar.

Dalam Bab I pasal 1 (Permenkes) tentang Ketentuan Umum, dinyatakan: sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.

Dalam Bab II Pasal 2 tentang Penyelenggaraan Sunat Perempuan, dikatakan, sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu. Tenaga yang kesehatan yang dimaksud adalah dokter, bidan, dan perawat yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Hanya dokter, bidan dan perawat (diutamakan perempuan) yang telah memiliki surat izin praktik, aau surat izin kerja  dan punya kewenangan untuk melaksanakan khitan perempuan.

Dalam Pasal 3 disebutkan, (1) Setiap pelaksanaan sunat perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orang tua, dan/atau walinya. (2) Setiap pelaksanaan sunat perempuan harus diinformasikan kemungkinan terjadi pendarahan, infeksi, dan rasa nyeri.

Khitan Perempuan Tidak Dapat Dilaksanakan

Perlu diketahui, dalam pasal 5 dinyatakan: Sunat perempuan tidak dapat dilaksanakan pada perempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eksterna dan/atau infeksi umum. Sunat perempuan dilarang dilakukan dengan cara mengkauterisasi klitoris, memotong atau merusak, baik sebagian maupun seluruhnya, juga dilarang memotong atau merusak labia minoria, labia majora, hymen atau selaput dara dan vagina, baik sebagian maupun seluruhnya.

Sebagai panduan, dalam Permenkes tersebut juga membuat aturan tentang Pelaksanaan sunat perempuan dengan persyaratan, yakni: di ruang yang bersih, terdapat tempat tidur/meja tindakan yang bersih, alat yang steril, pencahayaan yang cukup, dan ada air bersih yang mengalir.

Lebih lanjut, pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan prosedur tindakan dengan cara: a) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10 menit, (b) gunakan sarung tangan steril, (c) pasien berbaring telentang, kaki direntangkan secara hati-hati, (d) fiksasi pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan, (e) Cuci vulva dengan povidon iodine 10%, menggunakan kain kasa, (f) bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klitoris dan glans klitoris sampai bersih.  

Selanjutnya, (g) lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarus steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa kea rah kulit, tanpa melukai klitoris, (h) cuci ulang daeah tindakan dengan povidon iodine 10%, (i) lepas sarung tangan, dan (j) cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir.

Untuk menjamin hak dan melindungi keselamatan pasien yang disunat oleh tenaga kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi sesuai tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Adapun Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan, sesuai dengan ketentan peraturan perundang-undangan. Permenkes itu diatur dalam Bab III pasal 7 dan pasal 8 tentang Pembinaan dan Pengawasan.  Desastian


latestnews

View Full Version