View Full Version
Kamis, 28 Mar 2013

RUU Kumpul Kebo : Inilah Pertarungan Sengit Hak dan Batil

JAKARTA (voa-islam.com) – Rancangan Undang-undang  KUHP terkait kumpul kebo menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Bahkan boleh dikatakan, ini adalah pertarungan sengit antara hak dan batil. Kelompok yang pro menilai, RUU Kumpul Kebo perlu di Undang-undangkan. Sedangkan yang kontra, menilai kumpul kebo adalah masalah privasi.  

Neng Zubaidah yang pro terhadap RUU Kumpul Kebo ini mengatakan, kumpul kebo harus diatur dalam UU. Ketika ditanya apakah kumpul kebo termasuk HAM? Ia mengatakan, HAM itu tidak berarti harus melawan HAM yang lainnya. Itulah sebabnya perlu ada pembatasan melalui UU yang mengaturnya. Tentu UU yang melarang kumpul kebo didasarkan pada pertimbangan moral, dan nilai-nilai agama.

Hasil penelitian yang ia lakukan di Jakarta dan Jakarta, ternyata sangat mengejutkan. Di Jakarta, 31,7% pernah terjadi kumpul kebo, sedangkan Banten 20,6 %. Responden ditanya, apakah kumpul kebo perlu diundangkan? Sebagaian responden menjawab, 62% menjawa perlu. Adapun sanksi hukumannya, responden menjawab, perlu hukum Islam dalam member sanksi kepada pelaku kumpul kebo.

Bahkan, 31% responden menyatakan kumpul kebo perlu diatur dalam KUHP yang mana hukumannya diperberat dari yang sudah ada, minimal 3 tahun dan  maksimal 12 tahun penjara dan membayar denda.  Dari 360 sampel (masing-masing 142 sampel di Jakarta dan 218 di Banten), 63% responden menyatakan setuju kumpul kebo diundangkan.

Sementara itu sosiolog dari UI Prof. Thamrin Amal Tamagola yang berpikiran liberal itu menilai, kumpul kebo adalah persoalan privasi. Ia menyebut RUU Kumpul Kebo sebagai bentuk pemaksaan terhadap komunal atau kelompok tertentu, serta pemaksaan terhadap pribadi-pribadi.

Hal senada juga dikatakan Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan.  Ia tidak setuju RUU ini ngatur kamar orang. “Kumpul kebo masuk urusan pidana itu tidak masuk akal. Seharusnya yang dipidana itu pencuri, pembunuh, pelaku mutilasi, korupsi, perkosaan ayah pada anak sendiri atau guru terhadap muridnya, Jadi kumpul kebo tak perlu dipidanakan.”

Politisi dari PPP Ahmad Yani yang mendukung RUU Kumpul Kebo menegaskan, justru dalam konteks sosiologi, baik Islam maupun agama lain memiliki rambu dan acuan moral, bahwa setiap pemeluk agama harus diikat dalam sebuah perkwinan. Tanpa melakukan ikatan perkawinan, mereka akan diusir dari kampong halamannya.

“Negeri ini perlu ada pengaturan, terkait kumpul kebo. Sehingga tidak terjadi main hakim sendiri di masyarakat. Negara harus mengatur, tidak boleh membiarkan kumpul kebo terus berlangsung,” kata Ahmad Yani.  

Ketika dikatakan, justru hukum nasional itu bersumber dari hukum Islam dan hukum adat. Tapi Thamrin Tamagola malah mengatakan, biarkan saja adat yang mengatur. Yang jelas, pengamat hukum seperti Trimedya Panjaitan dari FPDIP-DPR-RI, berharap sanksi pidananya harus lebih berat, jangan terlalu longgar. Tidak cukup satu tahun penjara bagi pelaku kumpul kebo. [desastian]


latestnews

View Full Version