View Full Version
Selasa, 28 Jan 2014

Dewan Dakwah: Penanggulangan Banjir Jangan Abaikan Faktor Spiritual

JAKARTA (voa-islam.com) - Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, KH Syuhada Bahri, menyerukan kepada segenap stakeholder DKI Jakarta dan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), agar jangan mengabaikan faktor spiritual dalam menanggulangi bencana banjir.

‘’Kita bisa saja merekayasa awan, tapi mana bisa melawan rekayasa Allah SWT,’’ kata Ustadz Syuhada di Kantor Dewan Dakwah, Jl Kramat Raya 45 Jakarta Pusat, Senin (27/1).

Menurut Undang-Undang Sumber Daya Alam No 7/2004 dan Carter 1991, Bangsa Indonesia diintai tak kurang dari 18 jenis bencana alam.

Dari 18 potensi bencana itu, menurut Direktur Pengurangan Resiko Bencana BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Sutopo Purwo Nugroho, ada 13 jenis bencana yang selalu akan menerjang.

Namun, Ustadz Syuhada menyayangkan, dari semua konsep, definisi, maupun pengertian bencana yang dikemukakan lembaga nasional maupun internasional, ternyata tak satupun yang memasukkan faktor atau aspek spiritual, yakni qudrat dan iradat Allah SWT serta pengaruhnya terhadap perilaku manusia.

Misalnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan.

Bencana, menurut UU Nomor 24 tahun 2007, adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Ustadz Syuhada juga menyayangkan, dalam pertemuan para pejabat daerah di Bendungan Katulampa Bogor beberapa waktu lalu, faktor spiritual tidak dibahas sama sekali. Bencana banjir seolah akan dapat dibereskan dengan penertiban permukiman, pembenahan aliran sungai, dan bendungan.

Padahal, seperti dikemukakan misalnya oleh Syaich Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam Idhohul Maqol fi Asbabi Zilzal war Roddu ’ala Malahidah Dzulal, bencana alam tidak lepas dari takdir atau ketentuan Allah SWT.

Ustadz Syuhada menuturkan, bencana disebabkan kemaksiatan manusia terhadap sunatullah (alam) dan kemaksiatan dalam berhubungan dengan Allah maupun sesama manusia.

‘’Jadi, kalau ada bencana banjir, jangan menyalahkan curah hujan atau limpasan air laut (rob),’’ tandas Ustadz Syuhada.

Sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyesalkan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menyalahkan hujan dan air rob sebagai penyebab banjir di ibukota.

Walhi menyebut Jokowi ‘’musyrik’’ karena sebenarnya hujan yang turun adalah berkah dari Tuhan, bukan jadi biang keladi terjadinya banjir.

"Yang namanya volume air tetap segitu enggak bisa berubah tapi gentongnya ini yang dikurangi. Kalau lama-lama hanya menyalahkan curah hujan nanti masyarakat ini takutnya musyrik, bilang banjir karena Tuhan padahal hujan itu berkah," ujar Manajer Penanganan Bencana Walhi Nasional, Mukri Friatna, di Jakarta, Sabtu (18/1/2014).

Menurut Mukri, penyebab dari musibah banjir di Jakarta yang sebenarnya adalah beralihnya fungsi hutan yang dijadikan pemukiman atau industri.

Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Achmad Zukri mengatakan, penyebab banjir di Jakarta tahun ini bukan karena faktor alam. Sebab, curah hujan di kawasan Ibu Kota pada 2014 lebih rendah dibanding 2013 ketika terjadi banjir lebih besar.

"Curah hujan, bahkan lebih spesifik lagi puncak hujan, tidak terkait langsung dengan banjir," kata Achmad seperti dikutip Tempo (16/1/ 2014). "Ini berarti infrastruktur dan masalah lingkungannya yang harus dilihat," katanya.

Penyebab lainnya adalah kemaksiatan terhadap syariat Allah SWT. Hal ini banyak disebutkan dalam hadits, misalnya: “Aku berlindung kepada Allah mudah-mudahan lima perkara itu tidak terjadi pada kalian atau tidak kalian jumpai, yaitu:

Tidaklah perbuatan zina itu tampak pada suatu kaum, dikerjakan secara terang-terangan, melainkan tampak dalam mereka penyakit ta’un dan kelaparan yang tidak pernah dijumpai oleh nenek moyang dahulu.

Dan tidaklah kaum itu menahan zakat, melainkan mereka ditahan oleh Allah turunnya hujan dari langit, andaikata tidak ada binatang ternak tentu mereka tidak akan dihujani.

Dan tidaklah kaum itu mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka disiksa oleh Allah dengan kesengsaraan bertahun-tahun dan sulitnya kebutuhan hidup dan nyelewengnya penguasa.

Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka itu menghukumi dengan selain kitab yang diturunkan oleh Allah, melainkan mereka akan dikuasai oleh musuh yang merampas sebagian kekuasaan mereka.

Dan tidaklah mereka itu menyia-nyiakan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya, melainkan Allah menjadikan bahaya di antara mereka sendiri” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Dari Ali bin Abi Thalib Ra, bahwa Rasulullah SAW memperingatkan: “Bila umatku telah melakukan lima belas perkara, maka halal baginya (layaklah) ditimpa bencana.” Yaitu bila:

  1. Harta rampasan perang (maghnam) dianggap sebagai milik pribadi,
  2. Amanah (barang amanah) dijadikan sebagai harta rampasan,
  3. Zakat dianggap sebagai cukai (denda),
  4. Suami menjadi budak istrinya (sampai dia),
  5. Mendurhakai ibunya,
  6. Mengutamakan sahabatnya (sampai dia),
  7. Berbuat zalim kepada ayahnya,
  8. Terjadi kebisingan (suara kuat) dan keributan di dalam masjid (yang bertentangan dengan syari’ah),
  9. Orang-orang hina, rendah, dan bejat moralnya menjadi pemimpin umat (masyarakat),
  10. Seseorang dihormati karena semata-mata takut dengan kejahatannya,
  11. Minuman keras (khamar) tersebar merata dan menjadi kebiasaan,
  12. Laki-laki telah memakai pakaian sutera,
  13. Penyanyi dan penari wanita bermunculan dan dianjurkan,
  14. Alat-alat musik merajalela dan menjadi kebanggaan atau kesukaan,
  15. Generasi akhir umat ini mencela dan mencerca generasi pendahulunya;

Apabila telah berlaku perkara-perkara tersebut, maka tunggulah datangnya malapetaka berupa; taufan merah (kebakaran), tenggelamnya bumi dan apa yang diatasnya ke dalam bumi (gempa bumi dan tanah longsor), dan perubahan-perubahan atau penjelmaan-penjelmaan dari satu bentuk kepada bentuk yang lain” (HR Tirmidzi, no 2136).

Oleh karena itu, Ketua Umum Dewan Dakwah menyeru para pemimpin dan rakyat untuk menanggulangi dan mencegah bencana banjir secara konprehensif dan simultan.

‘’Sambil membenahi lingkungan dan sikap kita terhadap alam, kita juga bertaubat dan berusaha melaksanakan syariat agar keberkahan diturunkan Allah SWT untuk kita,’’ ujar Ustadz Syuhada. (nurbowo/abdullah/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version