View Full Version
Selasa, 13 Dec 2016

Komisi Hukum MUI: Eksepsi Ahok Bukan Keberatan, tapi Mengarah Pembelaan

JAKARTA (voa-islam.com)--Komisi Hukum dan Perundangan MUI Pusat, DR. H. Abdul Chair Ramadhan menilai eksepsi Gubernur DKI Jakarta non-aktiv Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak fokus pada pokok masalah yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Eksepsi tidak fokus, eksepsi lebih ke arah pembelaan (pledoi). Sangat sedikit menguraikan tentang adanya dakwaan PU yang kabur (abscur libel) dan lain lain, sebagai syarat Eksepsi," katanya dalam keterangan persnya, Jakarta, Selasa (13/12/2016).

Dalam persidangan, Ahok menyatakan bahwa dirinya tidak ada niat (mens rea) dan tidak bermaksud untuk menista agama dengan menyebut "Jangan mau dibohongi pakai surat al maidah:51". Dia mengaku memaksudkan pernyataan itu hanya kepada lawan-lawan politiknya yang tidak bisa bersaing dalam konteks program. Menurut Abdul Chair, klaim Ahok tersebut tidak sesuai dengan kenyataan pada saat itu.

"Hal ini tidak sesuai, bukankah pada tanggal tersebut belum masuk waktu kampanye dan bahkan belum ditetapkan calon oleh KPUD?" tanyanya retoris.

Abdul Chair juga berpendapat bahwa Ahok tidak berhak mencoba menafsirkan al Maidah : 51, meski dia mengaku dalam persidangan mendapat penjelasan maksud ayat itu dari temannya.

"Dia juga menyatakan telah menanyakan tentang asbabun nuzul kepada teman-temannya tentang maksud Al Maidah : 51. Hal ini tidak dapat dibenarkan, dia tidak ada legal standing untuk menjelaskan surah Al Maidah 51 karena ia tidak mengimani Al-Quran dan dia bukan beragama Islam. Sehingga bagaimana mungkin dia dapat mengetahui makna yang sebenarnya," jelasnya.

Selain itu,  penasehat hukum (PH) tidak relevan menyebut video yang diunggah oleh Buni Yuni. Karena sudah di lakukan uji labaratorium forensik oleh penyidik dan hasilnya sah sebagai barang bukti.

"Penasehat hukum tidak relevan dengan mengaitkan Aksi Bela Islam  yang menyoal tuntutan keadilan dalam proses Penegakan Hukum. Sebab, sah dan dijamin UU setiap warga negara menyampaikan pendapat dan menuntut keadilan," tuturnya.

Menurut Abdul Chair, cepatnya proses penyidikan dan pelimpahan kasus Ahok ke Pengadilan Negeri tidaklah menyalahi hukum acara pidana. Tahapan penyelidikan sampai dengan gelar perkara sudah memenuhi ketentuan.

Penetapan tersangka juga sudah sesuai dengan hukum acara,  didahului oleh adanya dua alat bukti yang sah serta sudah dilakukan gelar perkara penyidikan seusai dengan  prinsip Gelar Perkara penyelidikan.

"Penasehat Hukum menyatakan bahwa harus diterapkan prinsip Ultimum Remedium. Penasehat hukum telah salah mengaitkan asas ini, terlebih lagi dikaitkan dengan SKB dalam penerapan Pasal 156a huruf a KUHP. Apalagi disebut Pasal 156a adalah delik materil. Perlu diketahui prinsip Ultimum Remedium baru dikenal baru2 ini, sebagaimana diterapkan dalam UU Lingkungan Hidup, jadi tidak ada kaitannya dengan UU 1 PNPS 1965," katanya.

"Adapun SKB hanya dapat diterapkan untuk penyalahgunaan terhadap ajaran agama yg menyimpang dari suatu aliran sesat yang menyerupai ajaran agama yang bersangkutan. Untuk penodaan tidak perlu SKB. Sifat delik pada Pasal 156a adalah delik formil jadi tidak membutuhkan adanya akibat sebagaimana delik materil," sambung Abdul Chair.

Lebih dari itu, menurut Abdul Chair, PH mengaitkan asas restoratif justice juga tidak relevan. Ini Teori dari Jhon Rawls yang tidak terkait dengan delik agama, lebih tepatnya teori ini untuk pemidanaan terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup.

Ia melanjutkan, penasehat hukum menyatakan huruf b pada Pasal 156a KUHP harus dibuktikan karena sifat delik adalah kumulatif. Kata Abdul Chair, ini menunjukkan bahwa Penasehat Hukum tidak mengerti struktur Pasal 156a dan tidak mengerti nuansa kebatinan - histories Yuridis - masuknya Pasal 156a dlm KUHP. 

Pasal 156a adalah alternatif, oleh karena itu, ada 2 Kejahatan yang diatur yakni huruf a atau huruf b. Dalam huruf a juga berlaku alternatif perbuatan (actus reus), permusuhan atau penyalahgunaan atau penodaan.

"Penasehat Hukum menyebut tidak ada kejelasan tentang subject korban. Perlu dicatat bahwa Perbuatan Pidana pada Pasal 156a huruf a tidak mensyaratkan subject korban adalah manusia tetapi agama itu sendiri, dengan salah satunya Kitab Suci. Adapun Pasal 156 KUHP subjectnya sangat jelas yakni Golongan Penduduk yang salah satunya berdasarkan agama," pungkas Abdul Chair. * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version