View Full Version
Senin, 10 Sep 2018

MCI: Gerakan Pemurtadan di Lombok Masih Fase Menunggu

LOMBOK (voa-islam.com)--Mualaf Center Indonesia (MCI) menegaskan bahwa gerakan pemurtadan atau missi penyebaran agama lain di lokasi-lokasi bencana adalah fakta, tidak terkecuali dalam peristiwa gempa di Lombok.

"Gerakan pemurtadan itu fakta, kami berpengalaman di Merapi dan Bantul,"kata Korlap MCI, Wahyu Prijanto kepada voa-islam, Lombok (9/9/2018).

Menurut Wahyu, pola gerakan missi dilakukan secara bertahap dan sistematis. Di masa awal tanggap bencana, mereka hanya mengenalkan diri dan memberi bantuan saja.

"Untuk saat seperti ini, mereka hanya ketok pintu, 'tok-tok pak kami mau bantu,' setelah beberapa bulan para relawan mundur (pulang, red), mereka baru masuk,"ujarnya.

Wahyu mengatakan di Lombok kelompok missi belum sampai proses menawarkan agama secara terang-terangan. Sebab, Lombok masih dalam masa tanggap bencana, situasi ini bagi mereka adalaj fase menunggu.

"Kalau di sini belum ada proses pemurtadan, bukan fasenya, di sini fase menunggu saja dan fase pengenalan lembaga, belum masuk fase progam, baru prolog,"jelasnya.

Wahyu berbagi cerita soal metode pemurtadan yang dilakukan gerakam missi di wilayah Jawa. Sebab, pola dan pendekatannya berubah dalam waktu tertentu. Terkait di wilayah Jawa, gerakan missi melakukan penanaman modal atau hutang budi kepada warga yanh disasar.

"Polanya di Jawa kasar, misalkan dibuatkan rumah, 1-2 tahun tanda tangan untuk pindah agama. Tak' buatin rumah, satu dua tahun tanda tangan tangan, setahun kemudian murtad. Sekarang nggak lagi zamannya bagi mie instan," bebernya.

Sebagaimana, lanjut Wahyu, pola itu terjadi di daerah Pakis, Magelang, Jawa Tengah. Terdapat 29 rumah baru hang disediakan, satu tahun kemudian 29 orang murtad.

"Dan (polanya) masih berlangsung hingga sekarang,"cetusnya.

Mengantisipasi gerakan pemurtadan, MCI sendiri berupaya melakukan pencegahan dengan menguatkan jaringan dai, terutama dai-dai spesialis dakwah di pedalaman. Selain itu, MCI membangun komunikasi antar lembaga dan ormas.

"Selain penguatan jaringan lembaga, diperlukan penguatan finansial, pembangunan ekonomi umat,"tuturnya.

Kembali soal Lombok, sambung Wahyu, pada fase menunggu gerakan pemurtadan, mereka melakukan proses pengenalan lembaga.

Di Lombok proses itu dapat dilihat dari bantuan-bantuan yang diberikan, seperti pada tandon-tandon air atau mesin penyaring. Properti bantuan yang bertempelkan nama-nama lembaga keagamaan itu diberikan terlebih dahulu seakan cuma-cuma, dibelakang waktu akam diupayakan pembuatan perjanjian.

"Bantuan mesin dan tandon ditinggalkan dulu, nanti setahun kemudian baru dibuat perjanjian. 'Bagaimana pak mesin airnya bagus?', ada barang taruh.. Ada barang taruh, karena kita (relawan muslim) masih ada di lokasi, nanti enam bulan kemudian coba lihat," kata Wahyu.

Kendati demikian, Wahyu melihat masyarakat Lombok sudah cerdas memandang fenomena tersebut, saat tanggap bencana gerakan missi turun ke lokasi diterima bantjannya namin kegika sudah masuk masa recovery bencana, masyarakat melakukan proteksi.

"Memang di awal mereka menerima bantuan dari siapapun, tapi setelah itu mereka membatasi, bahkan menjaga kami para relawan,"ujarnya.* [Bil/Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version