JAKARTA (voa-islam.com)--Dalam rangka memeriahkan Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, Jawa Tengah, Juli 2020, Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar lomba karya jurnalistik.
“Kami menamai lomba penulisan ini sebagai Fachrodin Award 2020. Nama ini terinspirasi kiprah Haji Fachrodin sebagai pelopor pers Muhammadiyah,” kata Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah Roni Tabroni, yang juga salah satu inisiator Fachrodin Award.
Roni menjelaskan tema utama yang diangkat dalam anugerah jurnalistik Fachrodin Award 2020 ialah “Peran-peran kebangsaan dan kemanusiaan Muhammadiyah di tingkat lokal.” Menurut Roni, lomba ini tidak hanya terbuka untuk kader Persyarikatan Muhammadiyah tetapi siapa saja yang terpanggil menuliskan sejarah dan kiprah Muhammadiyah di berbagai daerah.
Seperti diketahui, Muhammadiyah ialah organisasi massa Islam modern terbesar di Indonesia yang tercatat dengan tinta emas atas kiprah dan peran sosialnya di bidang kemanusiaan dan kebangsaan. Organisasi yang mengusung semangat pembaruan dan pencerahan anak bangsa ini lahir 33 tahun sebelum Indonesia lahir sebagai bangsa dan negara merdeka pada 17 Agustus 1945. Muhammadiyah tidak hanya menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa tetapi juga terus aktif mengisi kemerdekaan di tiga bidang utama, yakni pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
“Kiprah terbesar Muhammadiyah selama satu abad ini banyak terfokus pada bidang-bidang yang menjadi hajat publik, yakni pendidikan, kesehatan, dan amal-amal sosial lainnya berupa pemberdayaan kelompok-kelompok terpinggirkan,” papar Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Dadang Kahmad, MSi.
Di luar itu, Muhammadiyah sejak semula menyadari pentingnya peran media massa dalam perjuangannya memajukan bangsa ini. Tiga tahun setelah berdiri, Muhammadiyah menginisiasi penerbitan majalah Suara Muhammadiyah sebagai alat perjuangan dalam menjalankan misi sosial kemanusiaan dan kebangsaan.
“Melalui penerbitan majalah bulanan Suara Muhammadiyah yang pertama kali terbit pada 1915 -dan masih terbit hingga usianya 105 tahun hari ini, Muhammadiyah telah meneguhkan perannya pengembangan pers dan media di Tanah Air. Ini dilakukan sebagai upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dicita-citakan Founding Fathers yang kemudian dituangkan dalam Konstitusi UUD 1945,” kata Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ahmad Najib Burhani, yang juga Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah.
Sosok dan Kiprah Haji Fachrodin
Penerbitan majalah Suara Muhammadiyah dipelopori seorang tokoh Muhammadiyah bernama Haji Fachrodin. Dialah murid KH Ahmad Dahlan yang sekaligus pengurus Hoofdbestuur Muhammadiyah kala itu. Fachrodin yang merupakan tokoh pergerakan nasional prakemerdekaan itu juga merupakan sahabat karib Mas Marco Kartodikromo. Dari tokoh pers nasional itulah Fachrodin belajar menulis. Fachrodin bahkan menjadi salah satu penulis tetap surat kabar Doenia Bergerak yang didirikan Mas Marco pada 1914.
Menurut Roni Tabroni, lomba karya jurnalistik Fachrodin Award yang diadakan oleh MPI PP Muhammadiyah dilaksanakan sebagai upaya untuk memperkenalkan kepada publik sosok dan kiprah Haji Fachrodin. “Beliau salah satu penggerak awal Muhammadiyah dan salah satu tokoh pers yang punya andil besar bagi pergerakan bangsa, khususnya bagi dunia pers dan kemerdekaan pers di Indonesia,” ujar Roni.
Dia mengatakan majalah Suara Muhammadiyah yang dipelopori Haji Fachrodin merupakan karya monumental dan fenomenal. Sejak terbit perdana pada 1915, majalah Suara Muhammadiyah terus setia menyapa para pembacanya, khususnya kalangan warga persyarikatan. Majalah tersebut hingga kini tetap rutin terbit dan beredar ke seluruh Indonesia.
Empat Topik Feature Yang Dilombakan
Koordinator lomba Imam Prihadiyoko menjelaskan Fachrodin Award 2020 digelar sebagai ajang untuk memberikan penghargaan terhadap karya-karya terbaik jurnalistik dalam bentuk feature tentang peran dan kiprah Muhammadiyah di tingkat lokal.
“Secara spesifik, tema tersebut berkaitan dengan empat topik. Pertama, sejarah dan peran Muhammadiyah di berbagai daerah. Kedua, dakwah kader Muhammadiyah di berbagai bidang. Ketiga, peran amal usaha Muhammadiyah dalam Melayani umat dan bangsa. Keempat, peran strategis tokoh Muhammadiyah di tingkat lokal di berbagai daerah di Indonesia,” papar Imam.
Imam menambahkan tulisan yang masuk ke panitia akan diseleksi dan dinilai oleh dewan juri yang beranggotakan para wartawan senior yang juga berpengalaman sebagai juri. Mereka akan memilih tiga tulisan terbaik sebagai pemenang I, II, dan III serta tujuh tulisan terbaik lainnya untuk mendapatkan hadiah berupa uang dan sertifikat. Selain itu, tulisan lainnya yang masuk dan dinilai layak akan dibukukan bersama 10 tulisan pemenang itu. Khusus untuk pemenang I-III, panitia akan mengundang mereka hadir dalam penyerahan hadiah di tengah pelaksanaan di Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta Juli nanti.
Dr. Najib Burhani mencontohkan beberapa objek yang dapat diangkat untuk diikutsertakan dalam lomba. Misalnya, tentang jejak Muhammadiyah di Kokoda, Papua Barat. “Kokoda adalah sebuah kampung yang penduduknya semula nomaden. Namun, sejak kehadiran Muhammadiyah, mereka menjadi menetap dan membangun peradaban.”
Kasus menarik lainnya, lanjut Najib, adalah Muhammadiyah di Martapura, Kalimantan Selatan yang dibangun oleh komunitas Arab. “Di tempat lain, seperti Bengkulu, komunitas Tionghoa berperan dalam pengembangan Muhammadiyah,” ungkap Najib yang juga penulis buku Muhammadiyah Jawa.
Bisa juga mengangkat tokoh lokal tertentu yang memiliki kontribusi penting bagi Muhammadiyah. Arif ‘An di Surabaya, misalnya, melakukan pemberantasan terhadap “khurafat sosial” dengan melakukan pemberdayaan terhadap para PSK (Pekerja Seks Komersial) dan mantan PSK.
Di Blitar, Pak Siswanto membangun Muhammadiyah dengan aktivitas yang terpusat pada kegiatan ekonomi. Apa yang dilakukan Pak Sis di Blitar dalam bidang ekonomi ini mirip yang terjadi di Pekajangan, seperti yang ditulis dalam disertasi Irwan Abdullah.
Mengangkat isu yang berkaitan hubungan antaragama adalah tema lain yang bisa diikutkan dalam perlombaan ini. “Di Kupang, misalnya, sekolah dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah didominasi oleh siswa atau mahasiswa non-Muslim. Hal ini sering menimbulkan tanda tanya, bagaimana organisasi ini lantas mengajarkan materi al-Islam dan ke-Muhammadiyahan?” jelas Najib. * [Ril/Syaf/voa-islam.com]