View Full Version
Kamis, 30 Dec 2021

Catatan Akhir Tahun: Rokok Murah, Generasi Muda dan Bonus Demografi Terancam

JAKARTA (voa-islam.com)—Isu pengendalian tembakau menjadi perhatian ormas Muhammadiyah. Muhammadiyah fokus mengkritisi langkah pemerintah dalam pengendalian tembakau.

Hal ini terungkap pada Catatan Akhir Tahun  “Refleksi Pengendalian Tembakau di Indonesia 2021” yang digelar Insitute for Social Development (IISD) bersama MPKU PP Muhammadiyah di Aula Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Rabu (29/12/2021).

Pada acara ini, Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PP Muhammadiyah H. Mohammad Agus Samsudin mengatakan, Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar kedua di dunia. Ia menyebutkan produksi rokok di Indonesia pertahun mencapai 380 miliar batang.

“Indonesia menjadi pasar potensial untuk mendapat kue penjualan. Kebiasaan merokok (masyarakat) masih sangat kuat sekali,” ungkap Agus.

Agus kemudian mempertanyakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Ia menilai PP tersebut belum terasa dalam pengendalian tembakau.

“PP 109 sampai mana? Tarik menarik ekonomi dan kesehatan, disinilah perlunya Muhammadiyah bersama yang lain mengawal PP 109 menjadi lebih baik, upaya ini harus terus konsisten diperjuangkan bersama,” ucap Agus.

Menurut Agus, dalam upaya pengendalian tembakau, ada tiga langkah yang dilakukan Muhammadiyah. Pertama, membentuk Muhammadiyah Tobbaco Control Network (MTCN) sebagai wadah koordinasi nasional pengendalian tembakau di lingkungan Muhammadiyah. Kedua, melakukan advokasi kebijakan kawasan dan ketiga advokasi kebijakan cukai rokok nasional.

Sementara itu, Rektor ITB Ahmad Dahlan, Mukhaer Pakkanna menilai cukai rokok di Indonesia masih tergolong rendah. Efeknya harga rokok jadi murah dan dapat dijangkau semua kalangan, termasuk generasi muda.

Disebutkan Mukhaer, harga rokok di Indonesia merupakan terendah di dunia. Bahkan jauh di bawah negara-negara di dunia.

“Dengan harga yang murah ini, maka kaum remaja dan miskin berpendapatan rendah mampu menjangkaunya. Harga murah ini menyebabkan SDM unggul terpukul. Bonus demografi terancam,” kata Mukhaer.

Kegagalan menurunkan prevalensi perokok pemula (10-18 th) dalam periode RPJMN 2014-2019, dan target untuk menurunkan prevalensi perokok pemula pada periode RPJMN 2014-2019 menjadi 5,4% gagal.

Sementara pada periode RPJMN 2020-2024 dari 9,1% menjadik 8,7% diprediksi tak akan berhasil, bilamana kebijakan yang masih pro-industri dan memanjakan perokok tidak diubah.

Mukhaer menghitung berdasar eksternalitas negatif (dampak negatif) yang ditimbulkan oleh tembakau dan produk turunannya di Indonesia tercatat sekitar Rp 727,7 triliun.

“Kerugian ini terdiri dari kerugian total kehilangan tahun produktif Rp 374,06 triliun, belanja kesehatan total (rawat) 13,67 T, belanja kesehatan total (rawat (rawat inap dan rawat jalan) Rp 131,14 T dan konsumsi rokok Rp 208,83 T,” jelasnya.

Pembicara lain, pembina Indonesia Insitute for Social Development (IISD) Tien Sapartinah meminta agar negara bertanggung jawab dalam pengendalian tembakau. “Jadi pemerintah tidak boleh lepas tangggung jawab terhadap isu pengendalian tembakau ini,” kata Tien.

Tien mencontohkan, meskipun sama-sama berbahaya, rokok sebagai zat adiktif masih diperlakukan berbeda dengan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya).

“Kami pernah menganjurkan agar perlakuan terhadap tembakau ini disetarakan saja seperti bagaimana pemerintah mengendalikan masalah minuman keras (miras). Rokok elektrik yang nyata-nyata berisikan zat adiktif justru beredar lebih bebas dan menyasar generasi muda. Alasan klasik pemerintah rokok adalah produk legal sehingga boleh dijual secara bebas,” kata dia.*[Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version