[ 03/06/2013 - 01:39 ] |
Jaffa – PIP: Nelayan Athallah Zainab (80) mengisahkan dirinya sangat terpengaruh ketika menyaksikan puluhan mayat orang Palestina yang dia ikut membawa jasad mereka dan menguburnya di kuburan massal 65 tahun lalu, setelah mereka dihabisi oleh senjata Zionis dalam pertempuran mempertahankan kota Jaffa sebelum jatuh ke tangan Zionis pada tahun 1948 lalu. Dalam kesaksiannya kepada Yayasan Wakaf al Aqsha, Athallah mengatakan, “Orang-orang yang tinggal di daerah pemakaman meminta tolong saya untuk menceritakan kepada mereka apa yang terjadi di kota Jaffa 65 tahun lalu, setelah mereka menemukan sisa-sisa puluhan jasad dan tengkorak di kuburan tersebut sekitar 10 hari yang lalu. Karena saya adalah termasuk sedikit saksi yang masih hidup dan ingat peristiwa Jaffa kala itu.” Dia menceritakan, “Kala itu saya seorang remaja berusia 15 tahun bekerja sebagai nelayan bersama ayah saja ketika meletus perang di Jaffa. Kami tinggal di desa bernama Arabiyah di selatan Jaffa di daerah Beit Fadan, yang pada hari ini berubah menjadi kota Zionis namanya Bat Yam. Ketika perang Jaffa berlangsung, kami menjadi pengusung jasad para mujahidin dan syuhada. Kami kumpulkan dari jalan-jalan dan segera kami kuburkan karena pertempuran. Menguburkan kala itu penuh dengan bahaya. Kami harus menyusup di tengah kegelapan untuk mengubur korban setiap hari 4 sampai 6 orang. Kami masukkan mereka dalam lubang kecil untuk satu keluarga yang kami tumpuk satu sama lain.” Dia melanjutkan, “Kami membawa para korban laki-laki, wanita, dan anak-anak dengan pakaian dan sepatu mereka. Kami tidak kenal nama-nama mereka dan keluarganya juga tidak tahu kematian mereka. Kebanyakan mereka kami temukan di jalan. Kami tidak sempat menyolatkan merekam, namun hanya kami bacakan alfatihah saja di jalan. Kami bergerak di bawah desingan peluru. Geng-geng Zionis tidak ragu-ragu menembak kami sementara kami ada di pemakaman. Jasad dari dari empat arah. Dari arah Hasan Beik di utara, dari arah Beit Fidan di selatan, arah Saknah Darwis di bara dan Abu Kabir di timur. Para pemuda datang membawa jenazah untuk dikubur di kuburan massal dengan mempertaruhkan hidup mereka dalam bahaya.” Dia menjelaskan, “Saya ikut mengubur sekitar 100 Palestina selama 3 atau 4 bulan. Berang sangat brutal dan sengit. Sniper-sniper Zionis berada di atas bangunan-bangunan besar di Jaffa. Tak seorang pun berani melintas di jalan di siang hari. Bahkan di malam hari, kami merunduk-runduk sambil membawa jasad yang menjadi korban untuk sampai ke kuburan. Saya masih ingan seorang wanita tetangga saya, Ummu Fakhri, yang gugur terbunuh saat dia sedang shalat. Kami bawa dan kami letakkan di kuburan massal yang kami beri nama Fistaqiyah.” Athallah menyatakan bahwa dia bersama keluarganya melarikan diri dari desanya “Arabiyah” ke kampung al Ajami di Jaffa dan kembali ke desanya setelah sebulan. Namun rumah-rumah di desanya sudah dihancurkan dan diratakan dengan tanah. “Kami sekarang tinggal di rumah orang Arab yang ditinggalkan pemiliknya karena perang dan disita oleh pemerintah Zionis dan disebut dengan nama “harta milik yang ditinggalkan pemiliknya” dan kami membayar sewa,” terangnya. Sementara itu Syaikh Muhammad Abu Najm, petinggi Gerakan Islam di Jaffa, menjelaskan bahwa pihaknya sedang melakukan renovasi di pemakaman bersejarah yang luasnya sekitar 25 acre. Saat melakukan renovasi, sekitar 10 hari yang lalu, kami menemukan sebuah kawasan tanpa tanda dan tidak menyerupai pemakaman di dalamnya ada lubang penuh dengan tengkorak yang terdiri dari 6 ruangan.” Dia menambahkan, “Saat kami melakukan penggalian, ternyata itu adalah kuburan massal. Dalam penelitian pertama kami temukan ratusan tengkorak dan sisa-sisa jasad dari beragam generasi. Sejumlah orang tua yang hidup di masa Nakbah (1948) sepakat bahwa itu adalah jasad para syuhada, para pejuang dan warga sipil yang gugur pada perang tahun 1948.” Dia mengatakan, “Yayasan al Aqsha yang memantau kasus pemakaman ini akan meminta bantuan para peneliti untuk mengetahui sebab kematian mereka dan usia makan tersebut yang meninggal dan dikuburkan di sana. Karena kami ingin mendokumentasikan apa yang terjadi di Palestina.” (asw) |