Melarang polwan mengenakan jilbab berarti pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan konstitusi.
Seorang polwan yang pernah bertugas di jajaran Polda Jawa Tengah mengadu kepada seorang ustad kondang, Ustad Wahfiudin, tentang keinginannya mengenakan jilbab. ''Sudah lebih dari tiga tahun hati nurani saya menjerit karena sepulang dari menunaikan ibadah haji. Saya berkeinginan besar untuk mengenakan seragam polri dengan berjilbab,'' kata polwan yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.
Menurut Wahfiudin, apa yang disampaikan polwan berpangkat perwira itu sebenarnya mewakili ratusan polwan yang berkeinginan untuk mendapatkan izin berseragam Polri dengan mengenakan jilbab. Sejumlah polwan yang bertugas di Polda Jateng sudah pernah menulis surat kepada Kapolri agar mendapat izin mengenakan jilbab, tetapi tidak dikabulkan. Bahkan, setelah itu keluar surat edaran Kapolri yang menegaskan bahwa yang boleh berseragam Polri dengan mengenakan jilbab hanya polwan yang bertugas di Polda NAD.
Untuk meraih dukungan supaya diperbolehkan mengenakan jilbab saat mengenakan seragam dinas, dibuatlah grup “Dukung Polwan Berseragam Diizinkan Menggunakan Jilbab” di jejaring sosial facebook. Grup ini, kata Wahfiudin, dibuat oleh para polwan yang ingin mengenakan jilbab.
"Jeritan hati perwira Polwan tersebut juga telah disampaikan ke MUI, para ulama dan DPR RI," ujar polwan itu kepada Ustad Wahfiudin yang kemudian disampaikan kepada Republika, awal Juni lalu.
Sebelumnya, seorang polwan yang berdinas di Polda Jawa Tengah mengeluhkan karena dilarang memakai jilbab saat mengenakan seragam polisi. Bahkan, Kapolri mengeluarkan surat edaran jika pemakaian jilbab dengan seragam dinas polisi hanya diperbolehkan bagi polwan yang berdinas di Polda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Di general information grup tersebut tertulis, jika keinginan para polwan menutup aurat terbentur dengan belum adanya peraturan Kapolri yang mengatur tentang penggunaan seragam polwan berjilbab di luar Polda NAD. Polwan itu juga menyatakan, berjilbab tak mengganggu aktifitas polwan sebagai pelayan masyarakat.
Berjilbab, Pensiun Saja?
Keinginan mulia sejumlah anggota polwan ini rupanya bertepuk sebelah tangan. Bukannya disambut dengan gembira, tetapi malah dilarang. Komentar paling sengit dan menyakitkan keluar dari mulut Wakapolri Komjen Pol Nanan Sukarna. Nanan menegaskan bahwa polisi wanita (Polwan) dilarang mengenakan jilbab. Ia mempersilahkan bagi Polwan yang mengenakan jilbab supaya keluar dari kepolisian atau pensiun.
“Kalau keberatan, kita serahkan kepada yang bersangkutan, pensiun atau memilih tidak menjadi Polwan,” tegas jenderal bintang tiga ini di Mabes Polri seperti dikutip detikcom, Jum’at (14/6/2013).
Aturan ini, menurut Nanan, ada karena kesepakatan internal kepolisian sehingga tidak tertulis. Meski marka tersebut tidak tertulis dan hanya tersirat, namun Polri tegas menuntut anggotanya, khususnya polwan, menjalankan aturan itu. “Tidak boleh melanggar aturan pakaian,” kata Nanan.
Bekas Kapolda Sumut itu mengkhawatirkan, dengan berjilbab pelayanan bisa terkendala. “Jangan sampai pelayanan kepolisian terkendala, sehingga tidak imparsial,” klaimnya.
Melanggar HAM dan Konstitusi
Pernyataan naif Nanan lantas menuai kecaman dari segala penjuru. Tokoh, ulama, politisi dan pejabat tinggi negara turut menyayangkan keluarnya pernyataan itu. Sebaliknya, mereka mendukung pemakaian jilbab oleh polwan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, menilai larangan itu sebagai kebijakan yang tidak bijak. Din beralasan, memakai jilbab bagi muslimah adalah bagian dari keyakinan dan pengamalan agama yang dijamin oleh negara. Konstitusi negara, UUD 1945, juga telah memberikan jaminan itu.
"Bisa dianggap kebijakan yang tidak bijak, bertentangan dengan konstitusi dan melanggar HAM," kata Din Syamsuddin. Din bahkan menilai pernyataan Wakapolri itu sangat naif dan nista. "Kita berharap, Kapolri terbuka hatinya,” harapnya.
Ketua umum PBNU, KH Said Aqil Siroj mengatakan kepolisian perlu mengatur pemakaian seragam yang tidak ketat dan menggunakan jilbab, dan anggotanya diberikan pilihan mau menggunakan seragam yang seperti apa. "Seragam polisi dengan jilbab tidak akan mengganggu aktivitas dan pekerjaanya," kata Said Aqil yang juga mewakili ormas-ormas Islam yang tergabung dalam LPOI.
Said Aqil mempertanyakan, jika di luar negeri seperti di Inggris, para Muslimahnya dibolehkan berjilbab ketika bekerja, termasuk polisi, kenapa Polri melarang polwan menutup aurat saat bertugas. "Lalu di Indonesia yang sila pertama dasar negaranya Ketuhanan Yang Maha Esa mengapa tidak boleh?" tuturnya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan menyebut Wakapolri menyalahi Undang-undang dan telah melakukan tindakan diskriminatif.
"Itu menyalahi Undang-undang. Karena itu hak menjadi pegawai negeri, duduk di pemerintahanan itu hak hasasi, lebih tegasnya hak konstitusional, karena diatur oleh Undang-undang Dasar kita. Tidak boleh orang dilarang untuk masuk. Itu namanya diskriminatif. Diskriminatif itu pelanggaran HAM," kata Amidhan.
Amidhan menyarankan, supaya aturan Kapolri yang melarang pemakaian jilbab itu diuji materikan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. “Persoalannya pelarangannya itu," lanjutnya.
Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan tidak boleh ada larangan muslimah berjilbab sama sekali di Indonesia. Kebebasan berjilbab yang sedang diperjuangkan untuk polwan, kata Menag, seharusnya juga diberlakukan untuk semua profesi muslimah.
Menag mengingatkan, jilbab tidak akan mengganggu kinerja Polwan dalam bertugas. Bahkan, kata dia, dengan menggunakan jilbab Polwan muslimah lebih bisa mawas diri akan perilaku dirinya. Sehingga mereka Polwan yang menggunakan jilbab memiliki dua tanggung jawab.
Terkait aturan Kapolri, Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan, aturan Kapolri bukanlah ayat dalam kitab suci yang tidak bisa diubah. "SK Kapolri bukan ayat suci, bisa disesuaikan dengan budaya dan adat masyarakat Indonesia, ada kebebasan, sepanjang tidak mengganggu tugas," katanya.
Aturan yang dimaksud adalah SK. Kapolri No.Pol: Skep/702/IX/2005 tentang sebutan, penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri tidak memungkinkan polwan - terkecuali yang bertugas di NAD - untuk mengenakan jilbab.
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin meminta Kapolri mencabut aturan yang tidak memperkenankan Polwan mengenakan jilbab. Pasalnya aturan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurutnya, tak ada ruginya bagi Polri membolehkan para polwan berjilbab. "Tak ada yang dirugikan dari penggunaan jilbab oleh Polwan di kalangan institusi kepolisian kita," katanya.
Berjilbab, kata Lukman, tidak akan mempengaruhi kinerja para polwan. Lukman percaya kinerja, kedisiplinan, dan keserasian anggota Polri akan tetap terjaga meski berjilbab. Hal ini sudah banyak dibuktikan instansi/lembaga pemerintahan yang membolehkan jilbab. "Itu sama sekali tak membawa dampak negatif apapun," ujarnya.
Menghadapi gempuran opini yang demikian massif, belakangan, Polri rupanya mengalah. Setelah dicecar Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat (RDP), Selasa (18/6/2013), akhirnya kepolisian memastikan diri akan melegalkan penggunaan jilbab bagi anggotanya di seluruh Indonesia. Pernyataan itu langsung dituturkan oleh Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo.
Timur bahkan berujar sebetulnya dia sangat senang dengan permintaan sejumlah keinginan polwan berjilbab yang kini mengemuka. Dia berkata, permintaan tersebut sudah dengan senang hati Polri terima dan pertimbangkan.
Timur mengatakan, dalam waktu dekat segala tuntutan mengenai jilbab akan segera masuk ke dalam agenda diskusi internal Polri. Dia berujar, aturan mengenai jilbab ini amat perlu dikonsepkan dengan tepat. Sehingga nantinya aturan ini tidak menimbukan polemik baru di kemudian hari.
[shodiq ramadhan, dari berbagai sumber]