View Full Version
Jum'at, 05 Mar 2010

Ulil Abshar: Hukum Tuhan Perlu Ditafsirkan Ulang

JAKARTA (voa-islam.com) - Dalam pidato Hari Ulang Tahun JIL, Ulil Abshar Abdalla menyatakan bahwa hukum Tuhan perlu ditafsirkan ulang. Dan Kebangkitan agama bukanlah sepenuhnya mengandung aspek positif. Umat Islam harus waspada dengan manuver pemikiran ala pentolan Jaringan Islam Liberal ini.

Seperti ingin mengekor jejak mendiang pendiri Paramadina, Nurcholish Madjid yang menyampaikan pidato kontroversinya di Taman Ismail Marzuki (TIM) tentang keagamaan di Indonesia pada 1992 silam, di tempat yang sama pada Selasa malam (2/03/2010), pentolan Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla juga menyampaikan pidato kebudayaannya di Graha Bakti Budaya TIM.

Jika pada tahun 1992 lalu Nurcholish Madjid menyampaikan pidato berjudul “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”, maka pada Selasa lalu, di tengah ratusan hadirin yang tergabung dalam Forum Pluralisme Agama, Ulil menyampaikan pidato dengan dengan tema yang tak jauh berbeda. Teks pidato Ulil berjumlah sebelas halaman diberi judul “Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial Keagamaan Kita Saat Ini.”

...fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Bahkan, penyakit fundamentalisme jauh lebih berbahaya daripada narkotika, kata mendiang Cak Nur...

Pidato Cak Nur pada 1992 silam mendapat reaksi keras dari umat Islam. Dalam pidato tersebut Cak Nur mengutuk sikap intoleransi dan menganggap fundamentalisme sama berbahayanya dengan narkotika. Berikut kutipan isi pidato Cak Nur:

“…Bagaimanapun, kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya. Sebagai sesuatu yang hanya memberi hiburan ketenangan semu atau palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Namun, narkotika menampilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh (‘teler’), baik secara perseorangan maupun kelompok (sehingga tidak akan menghasilkan sesuatu ‘gerakan’ sosial dengan suatu bentuk kedisiplinan keanggotaan para pengguna narkotika—bukan keanggotaan sindikat para penjualnya.Adapun kultus dan fundamentalisme dengan sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka, penyakit yang terakhir ini adalah jauh lebih berbahaya dari yang pertama… Sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman kepada kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak kurang gawatnya.”

Pidato Cak Nur soal fundamentalisme dikuatkan lagi oleh pernyataanya dalam sebuah acara seminar sehari bertema “Agama dan Pendidikan Perdamaian” di IKIP Jakarta, tahun 1996. Cak Nur yang dikenal sebagai penarik gerbong sekularisasi di Indonesia menyatakan bahwa fanatisme pada agama adalah sumber konflik dalam hubungan sosial di masyarakat. Agama menjadi sumber konflik menurutnya, karena para penganut agama berpendirian hanya agamanyalah yang paling benar.

Puluhan tahun kemudian, Ulil Abshar Abdalla, sosok yang pada malam itu disambut gegap gempita bak mujaddid oleh kalangan liberal, menyampaikan pidato yang tak kalah kontroversinya dengan pidato Cak Nur pada masa lalu. Ulil yang akan mencalonkan diri sebagai Ketua PBNU dalam muktamar Nahdlatul Ulama Maret mendatang mengatakan,” kita harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama itu. Sebagaimana kita lihat selama ini, kebangkitan agama bukanlah peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif,” ujarnya.

...Al-Qur’an dan Sunnah harus dipahami ulang jika keadaan berubah, kata Ulil...

Ulil juga mengeritik pemikiran kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Salafi dengan mengatakan ada beberapa kelemahan mendasar dari ajaran yang dipegang oleh kelompok tersebut. Kelemahan pertama, kata Ulil, adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menghadapi masalah yang dihadapi saat ini.” Gerakan ini sama sekali tidak atau kurang menyadari adanya kaitan yang tak terelakkan antara teks dan konteks yang membentuknya,” kata Ulil.

Ulil menyatakan, Al-Qur’an dan Sunnah harus dipahami ulang jika keadaan berubah. Karena itu bagi Ulil, adanya  keyakinan bahwa teks Qur’an dan Sunnah yang dipandang sebagai ”penghenti perbincangan” dan ”palu” terakhir dalam memutuskan segala persoalan adalah hal yang tidak sehat bagi kehidupan beragama. Kelemahan kedua dari kelompok Salafi, kata Ulil, adalah anggapan bahwa sebuah teks (wahyu, red) adalah terang benderang, tidak membutuhkan penafsiran yang kontekstual. Dan kelemahan ketiga, jelasnya, adanya kecenderungan ”absolutisme penafsiran” dari kelompok Salafi. ”Kecenderungan ini membawa akibat samping yang negatif dalam kehidupan sosial,” tegasnya.

...jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah selesai dan tidak boleh diutak-atik, maka kita akan dihadapkan pada jalan buntu, kata Ulil...

Dengan bahasa kiasan, Ulil yang malam itu tampil dengan wajah sumringah mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup kontroversoal. Berikut kutipannya:

”Apakah firman Tuhan harus dianggap seperti ”es batu” yang dipaksa terus membeku, tidak boleh mencair karena ”cuaca” yang sudah berubah?... Bagaimana kita bisa menerapkan hukum syariat, misalnya, dalam konteks politik, sosial, dan budaya yang sudah berubah tanpa melakukan penafsiran ulang atas hukum itu? Apakah kita bisa menerapkan apa yang selama ini dianggap sebagai hukum Tuhan seraya mengabaikan konvensi-konvensi internasional yang disepakati oleh bangsa-bangsa, misalnya konvensi tentang kebebasan sipil? Apakah kita tetap bertahan dengan diktum dalam Quran bahwa seorang suami boleh memukul istri (QS.4:34), sementara kita sekarang memiliki hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga?....Apakah kita masih harus mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya karena ada sebuah hadits yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa hukum semacam itu harus dipertahankan? Apa ”rationale-nya”? Apakah alasan yang mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan sampai sekarang? Intinya: Apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan secara diskriminatif masih tetap harus kita pertahankan semata-mata karena hukum itu berasal dari Tuhan?”

Dalam pidato yang lebih dari satu jam, Ulil dengan tegas menyatakan, ”jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah selesai dan tidak boleh diutak-atik, maka kita akan dihadapkan pada jalan buntu, pada dead-end.”

...Jika sosok seperti Ulil yang akan terpilih dalam Muktamar NU nanti, maka NU yang dikenal berpegang teguh pada tradisi salaf, akan dijerumuskan ke dalam lubang liberalisme agama yang jauh dari nilai-nilai salafiyah....

Pidato Ulil Abshar Abdalla dalam rangka memperingati ulang tahun Jaringan Islam Liberal (JIL) tersebut bisa jadi awal dari kebangkitan kelompok pengasong paham Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) pasca meninggalnya Gus Dur yang menyebabkan kelompok Sepilis seperti anak ayam kehilangan induknya. Tak tertutup kemungkinan, Ulil yang juga dikenal sebagai pembela kelompok sesat, akan diplot oleh kelompok liberal untuk menggantikan posisi Gus Dur. Apalagi, Ulil berusaha terus agar dirinya bisa menduduki tampuk kepemimpinan nomor satu di Nahdlatul Ulama.

Jika sosok seperti Ulil yang akan terpilih dalam Muktamar NU nanti, bisa dibayangkan bagaimana nasib NU ke depan. NU yang dikenal berpegang teguh pada tradisi salaf, akan dijerumuskan ke dalam lubang liberalisme agama yang jauh dari nilai-nilai salafiyah. Sosok seperti Ulil, bukan tak mungkin, sedang digadang-gadang secara all out, dengan dukungan propaganda yang masif, oleh kelompok liberal untuk bisa menduduki kursi kepemimpinan NU. [artawijaya]

Baca artikel terkait:

  1. Ulil JIL: Dunia Islam Paling Banyak Melanggar HAM, Harus Berguru pada Obama
  2. Ulil Abshar: Hukum Tuhan Perlu Ditafsirkan Ulang
  3. Logika Sesat JIL: Manusia Sama Dengan Monyet
  4. JIL Berulah: Lakukan Penodaan Islam dalam Sidang UU Penodaan Agama

latestnews

View Full Version