View Full Version
Ahad, 28 Aug 2011

SCTV Turut Membangun Kebencian Antarumat Beragama, Jika Tayangkan Film '?'

By: Mustofa B. Nahrawardaya
Penikmat Film, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah

Ancaman Front Pembela Islam (FPI) akan mensweeping SCTV bila stasiun swasta itu menayangkan film Hanung Bramantyo berjudul “?” (baca: tanda tanya), adalah sebuah kewajaran. Karena film ini  memang mencitrakan pluralisme secara keliru.

Jika memang terpaksa ditayangkan, jangan salahkan orang jika kemudian menyebut SCTV turut membangun sel-sel awal penebar benih-benih kebencian.

Ada lima alasan mengapa penulis menyebut SCTV berpotensi  turut membangun sel-sel awal penebar kebencian?

PERTAMA. Dengan ditayangkannya di SCTV, maka penonton film ini sekarang tidak lagi bergantung pada bioskop, harga karcis, ongkos parkir dan lain sebagainya. Bagi yang memiliki pesawat TV dan dijangkau relay SCTV khususnya di daerah dan terjangkau frekuensi, sudah pasti bisa menonton dengan mudah. Karena sudah masuk layar kaca, maka tak ada lagi yang bisa melakukan kontrol dari kemungkinan kesalahan penonton.

Sekalipun di dalam tayangan diembel-embeli kode agar penonton didampingi orangtua sekalipun, siapa bisa menjamin film ini bisa terseleksi penontonnya. Dalam rumah masyarakat kita, pesawat televisi kadang ada di setiap kamar. Sangat berbeda dengan jaman dahulu yang hanya ada satu pesawat televisi di rumah, di kamar tamu.

Selama ini, SCTV nyaris tidak memiliki catatan buruk soal program tayangannya, meski beberapa di antaranya mengangkat tema-tema keagamaan yang sensitif. Akan tetapi, khusus untuk film itu, sepatutnya SCTV mempertimbangkan manfaat yang akan didapat. Apakah keuntungan finansial yang didapat, akan sebanding dengan kerugian sistemik terhadap mental masyarakat kita yang masih dalam tahap belajar dalam banyak hal. Jika sebuah stasiun televisi menghargai permirsanya, maka pemirsanya tentu akan menghargai sedemikian rupa, dan memiliki cara rewarding tersendiri terhadap stasiun televisi yang menghargai pendapat mereka.

KEDUA. Jika sekalipun diputar di SCTV, tidaklah tepat apabila ditayangkan saat umat sedang bersuka cita baik di kota maupun di desa karena baru saja menyelesaikan puasa Ramadhan sebulan penuh. Euforia Umat Islam, akan lebih tepat apabila disuguhi dengan bentuk euforia yang sama oleh televisi, tanpa harus melukai perasaannya.

Sekedar catatan, film ini dulunya diputar menjelang Paskah, dan banyak yang berpendapat bahwa film tersebut memang lebih cocok untuk menyambut Paskah karena ternyata poin paling menonjol yang bisa ditarik dari film itu ternyata adalah heroisme kisah upacara Jumat Agung yang digambarkan dengan bagus oleh aktor Agus Kuncoro. Adegan Agus yang belajar menjadi Yesus memanggul salib di masjid, memiliki poin tertinggi apabila dilihat dari pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara.

Film yang dijejali umpatan-umpatan sarkasme semisal ‘dhasar Chino!’ atau ‘Teroris’ dan lain-lain, tampaknya hanya ingin membentur-benturkan permasalahan klasik ras dan pembiasaan sebutan teroris bagi anak muda berbaju koko yang aktif beribadah di masjid.

Namun jika mau dihubungkan dengan momen lebaran, satu-satunya adegan dan pesan yang meskipun sangat memaksa, yang cocok dalam kondisi sekarang adalah adanya adegan perusakan warung makan usai lebaran. Ini pun sangat menyesatkan karena belum ada ceritanya, warung dilarang buka saat lebaran maupun setelah lebaran. Bahkan yang berlebihan, warung itu dihancurkan.

Yang banyak terjadi, adalah adanya keberatan warga—misalnya FPI—yang tidak ingin Ramadhan diganggu hanya oleh munculnya warung makan buka di siang bolong. Bagi yang hidup di Jakarta maupun di kota-kota besar, memang terasa aneh ada aksi terbuka seperti FPI yang keberatan ada warung makan buka di siang bolong selama Ramadhan. Namun, tengoklah di pedesaan maupun pinggiran kota, memang di sana ada etika untuk tidak membuka warung makan di siang hari. Jika sampai ada warung makan buka di siang bolong, tunggu saja reaksi buruk masyarakat. Hukuman sosial yang dilakukan masyarakat terhadap warung buka di siang bolong saat puasa, benar-benar sangat terasa.

Situasi itu, mirip yang terjadi di Bali, di mana saat Nyepi, umat Islam juga menghormati pemeluk Hindu di Bali dengan tidak keluar rumah. Di Bali, sudah biasa kita lihat, banyaknya Pecalang yang menjaga sudut-sudut desa dan kota agar terjaga situasi khusyuk sembahyang mereka yang mayoritas memeluk,Hindu di sana.

Ketiga. Banyak adegan di film itu yang sangat menyakitkan dan mengada-ada. Tidak etis, serta melukai perasaan dan kehidupan umat beragama. Penusukan terhadap pendeta misalnya, sudah tidak sepantasnya diungkit-ungkit lagi. Sudah cukuplah kita  ‘kebobolan’ saat film tersebut ditayangkan di bioskop. Kasus itu, tak perlu dibangkit-bangkitkan, karena apa yang terjadi juga bukan tanpa alasan. Apalagi, selain pelakunya juga sudah menjalani hukuman setimpal, toh penusukan yang terjadi dan digambarkan di film itu, hanya terjadi secara kasuistis. Berbeda dengan kemiskinan, kelaparan di Gunung Kidul, Perkelahian antar kampung misalnya yang berlangsung bertahun-tahun dan tidak pernah ditemukan solusinya. Atau soal kawin cerai artis yang terjadi begitu seringnya.

Meskipun film itu gagal menjelaskan apa maksud dari penggambaran aksi tusuk pendeta, namun pada situasi tertentu, gambaran semacam itu terlalu absurd dan bisa memicu tafsir yang tidak mengenakkan. Meskipun seorang produser film dan sutradara bisa saja membuat film sesuai dengan kemauannya dan sesuai pesanan tukang sokongnya, namun perlu kiranya dipertimbangkan dampaknya. Jika tidak mempertimbangkan dampak, alangkah piciknya bangsa kita ini. Pemilik uang bisa membuat karya yang mencabik-cabik kerukunan yang sudah terjalin. Alih-alih membuat film untuk mempersatukan yang cerai. Bisa jadi malah memicu ketegangan baru. Tentu, SCTV tidak akan mengulang dengan melakukan hal-hal murahan kan?

Keempat. Tidak perlu dijelaskan kembali betapa amburadulnya alur dan pesan-pesan dalam film “?” besutan Hanung, namun SCTV kiranya perlu merebut mayoritas pemirsanya dengan tayangan terhormat dan berharga bagi pemirsanya yang pasti mayoritas beragama Islam. Perusahaan sebesar SCTV, tentu memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) cukup untuk menemukan film yang lebih pantas ditayangkan saat lebaran, ketimbang film “?”. Apalagi, kelebihan stasiun SCTV selama ini, tentu bukan pada tayangan filmnya, melainkan pada kombinasi baru antara news dan lifestyle yang cukup dominan.

Andai saja kemudian merosotnya pamor SCTV oleh publik hanya dikarenakan sebuah tayangan film semacam “?” itu, sungguh sebuah tragedi memalukan dan kejadian paling tidak perlu bagi SCTV. Pada kondisi persaingan program televisi yang ketat, sudah selayaknya SCTV memilih untuk bersaing secara sehat dan bermanfaat. Kemerosotan maupun kemajuan mental bangsa, tentu turut diciptakan oleh televisi. Karena wahana media yang bisa masuk ke ruang-ruang tersempit di rumah kita, tidak ada lain kecuali televisi.

Kelima. Memang sebuah kontroversi bisa saja justru menaikkan rating sebuah program acara. Seperti yang sering kita dengar, kadang malah sebuah program direkayasa isunya sedemikian rupa agar menjadi perhatian publik dan akhirnya menjadi buruan mata pemirsa yang berdampak positif karena bisa menaikkan rating secara signifikan. Namun strategi itu kalau tidak hati-hati, kadang malah bisa mengorbankan kepentingan generasi bangsa mendatang yang lebih besar. Sebuah program bisa menjadikan publik merasa puas (to satisfy the public interest) atau menjadikan keuntungan bagi pemilik media penyiaran (profit for the station’s owners). Namun di tengah-tengah kepentingan keduanya, banyak dilupakan televisi. Tak banyak yang merasa, bahwa lorong sempit antara keuntungan dan kepuasan, sebenarnya ada misteri yang terpendam.

Oleh karenanya, penting bagi SCTV, untuk mempertimbangkan kembali perlu tidaknya meneruskan program tayang film “?” tersebut. Terlepas dari tekanan FPI yang juga belum tentu terjadi, ada baiknya bagi SCTV untuk menghargai pendapat kelompok masyarakat tanpa menimbulkan gesekan dan persoalan baru yang dapat mengganggu perasaan Umat Islam yang sedang bersuka cita selepas menjalankan ibadah panjang Puasa Ramadhan 2011. [voa-islam.com]


latestnews

View Full Version