View Full Version
Senin, 19 Nov 2012

Hizbut Tahrir Indonesia : Pemalakan Rakyat Dibalik UU SJSN dan UU BPJS

JAKARTA (VoA-Islam) – Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan menolak UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Demikian pernyataan sikap HTI yang dibacakan oleh  Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto dalam jumpa pers di kantor HTI, Gedung Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (19/11) siang.

HTI meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Mereka hanya akan menjadi obyek pemalakan dengan kedok jaminan sosial, sehingga rakyat yang sudah menderita akan semakin sengsara.

Sekilas UU BPJS & SJSN

Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) didirikan atas dasar UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU Nomer 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jaminan sosial itu sendiri bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara adalah perkara yang sangat penting. Melalui program itu bisa dipastikan bahwa seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik dalam bidang kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan maupun jaminan hari tua. Hal ini pula yang mungkin dimaui oleh UU Nomer 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Namun dalam kedua UU justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosisal itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.

Dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3) juga disebutkan bahwa peserta harus membeli premi guna melindungi dirinya sendiri dari bencana sosial. Apalagi ayat (2) Pasal 17, mengharuskan pemberi kerja memungut sebagian upah pekerjanya untuk dibayarkan ke pihak ke tiga yang notabene milik Pemerintah.

Tentang prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada Pasal 1 huruf g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib. Bila ini asuransi, dan bersifat gotongroyong (huruf a Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan. Juga disebutkan dalam huruf b) prinsip nirlaba. Tapi mengapa dibolehkan adanya investasi dan pencarian manfaat (istilah lain dari keuntungan), yang tentu saja terbuka kemungkinan terjadi kerugian.

Sikap HTI

Maka, berdasarkan telaahan terhadap UU 40/2004 Tentang SJSN dan UU 24/2011 Tentang BPJS, Hizbut Tahrir Indonesia menilai, Pertama, kedua UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’.

Jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syariat Islam.

Kedua, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.

Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi.

Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b dimana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia. Desastian


latestnews

View Full Version