View Full Version
Kamis, 20 Jul 2017

COVER STORY Juli: Inilah Beda Pelaku Islamofobia Era Kolonial dengan Pasca Kemerdekaan

JAKARTA (voa-islam.com)--Film "Kau Adalah Aku yang Lain" yang baru-baru ini dirilis Polri memicu kritik keras dari banyak pihak, karena dinilai memuat sikap islamofobia.

Persoalan Islamofobia memang bukan barang baru di Indonesia, setidaknya begitulah penjelasan pemerhati sejarah, Beggy Rizkyansyah saat di wawancarai Voa Islam.

Islamofobia sudah berjalan sejak masa kolonialisme Belanda di Nusantara.

"Sebetulnya politik kolonial itu sendiri politik islamophobia. Ketakutan terhadap berbau Islam terutama politik Islam," kata Beggy

Misalnya, lanjut Beggy, kaum kolonial khawatir terhadap gerakan pan-islamisme dan ajaran jihad fi sabilillah yang jelas-jelas anti kolonialislme. Nativisasi juga bisa menggambarkan kekhawatiran kolonialisme terhadap Islam dalam bidang budaya.

"Kalau pemerintah mengajarkan Islam yang aspek ibadah semata dan memisahkan dari politik, itu bagian dari politik kolonial yang islamophobia," jelas Beggy.

Selain pemerintah kolonial, tidak sedikit aktor non-state terlibat dalam aktivitas islamofobia. Sebut saja orientalis tersohor Snouck Hurgronje. Snouck memiliki ketakutan terhadap politik Islam, akan tetapi, mendukung penuh pemerintah kolonial memberi kebebasan soal ibadah ritual.

Ada juga, penasehat kolonial seperti Karel Holle dalam melakukan nativisasi budaya (mengembalikan supremasi budaya lokal,red) di Priangan, Pasundan.

"Mereka memberi nasihat untuk membatasi ruang gerak Islam bahkan dalam soal budaya seperti yang dilakukan Holle," ujar Beggy.

Para orientalis itu membuat karya-karya tulis. Bahkan, Holle tidak hanya membuat karya tulis seperti yang dilakukan oleh Snouck. Akan tetapi, Holle mengupayakan bentuk konkret seperti mencetak kader sastrawan yang terlepas dari pengaruh Arab, menulis buku transliterasi bahasa Sunda dan lainnya.

Menurut Beggy, kerja-kerja budaya yang dilakukan Holle terbilang halus. Ia menerbitkan 'kamus' transliterasi bahasa Sunda ke aksara Latin, dengan begitu Holle telah menjembatani peralihan bahasa Sunda yang sebelumnya beraksara Arab ke aksara Latin. 

"Karena dia berusaha menghapus pengaruh Islam dengan aksara Arab-nya," ungkap pengelola situs jejakislam.net itu.

Di era kolonial, Beggy berpendapat, bentuk islamofobia bukan ketakutan terhadap Islam secara gamblang. Tapi, penghinaan terhadap Rasulullah SAW dan sebagainya. Kemudian, ujung-ujungnya menggambarkan sikap phobia terhadap Islam. Hal itu nampak dalam produk tulisan seperti kitab Darmogandul.

Beggy melihat ada perbedaan islamopobhia di era kolonial dan pasca-kolonial di Indonesia, terutama dilihat dari sisi siapa yang berkuasa pada saat itu. Pelaku islamophobia dari masa kolonial bukanlah orang Islam.

"Ada banyak prasangka dan ketidaktahuan tentang Islam. Aktornya, pemerintah dan orientalis," ucapnya.

Sementara, di masa pasca kolonial sikap islamophobia dilakukan oleh orang lokal atau pribumi. Motifnya lebih utama untuk menekan politik Islam dan membiarkan soal lain seperti budaya. Adapun pasca kemerdekaan, sikap-sikap islamofobia biasanya ditunjukkan terhadap politik islam, seperti ketakutan terhadap perjuangan Islam lewat parlemen.

Pada sidang konstituante tahun 1957, ada suara-suara ketakutan dan prasangka akan terjadinya pengekangan terhadap kebebasan beragama dan ancaman Kesatuan bila Islam dijadikan sebagai dasar negara.

Pasca kolonial, aktor pelaku Islamophobia juga bisa negara atau non-negara. Terkadang, negara memakai masyarakat sipil sebagai tameng untuk diadu dlm bingkai perasaan islamophobia.

"Pada dasarnya pasca kolonialisme, sikap ketakutan terhadap Islam muncul terutama dalam bentuk ketakutan terhadap politik Islam," tegas Beggy.

Sedangkan di masa rezim Orde Baru, kebijakan islomophobia dilakukan pemerintah dengan mencoba membungkam dan menggembosi politik Islam melalui isu-isu seperti komando jihad, DI/TII dan ekstrim Kanan. 

"Ujung-ujungnya ada fusi partai-partai Islam menjadi satu partai dan pemaksaan azas tunggal," katanya. 



Perlawanan terhadap Islamophobia

Tindakan islamofobia di masa kolonial tidak serta merta dibiarkan begitu saja. Sejumlah tokoh Islam nasional melakukan perlawanan dengan sejumlah kritik.

"Kalau di masa kolonial, sikap pelecehan terhadap Rasulullah yang didasari prasangka. Misal, pernah di kritik para tokoh Islam lewat media massa," ujarnya.

Islamofobia pada pasca-Kemerdekaan juga mendapat perlawanan dari  para tokoh Islam, melalui kritikan.

"Ada tulisan missionaris yang menghina Nabi Muhammad SAW, M. Natsir salah satu yang mengkritik tulisan tersebut," kata Beggy.

Tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya, di masa Orde Baru perlawanan dilakukan tokoh-tokoh Islam juga melalui kritik lewat sejumlah tulisan karena rezimnya otoriter.

"Salah satu media yang kritis dari media dakwahnya pak Natsir," pungkas Beggy* [Bilal/Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version