View Full Version
Ahad, 09 Feb 2020

Masyarakat Jenuh dengan Sekularisme

 

Oleh:

Ulfah Alfianita

Mahasiswi IISIP Jakarta

 

BEBERAPA waktu yang lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan munculnya Keraton Agung Sejagat yang berada di Purworejo. Dua orang mengklaim diri mereka sebagai pimpinan kerajaan. Toto Santosa bersama istrinya, Fanni Aminadia, mulai dikenal luas setelah menggelar acara Wilujengan dan Kirab Budaya di Desa Pogung Juru Tengah, Kabupaten Purworejo, Jateng. Menyebut sebagai raja-ratu kerajaan itu, mereka mengklaim memiliki banyak pengikut dan mendirikan sejumlah bangunan di desa itu. Polisi akhirnya menguak motif penipuan di balik beragam aktivitas Keraton Agung Sejagat. Mereka pun menetapkan Toto dan Fanni sebagai tersangka.

Belum redup kehebohan atas Keraton Agung Sejagat tersebut, muncul lagi kerajaan baru yang bernama Sunda Empire. Petinggi Sunda Empire, HRH Ki Ageng Ranggasasana, mengklaim Sunda Empire merupakan lembaga tingkat dunia yang memiliki tujuan untuk menyejahterakan dan mewujudkan pedamaian dunia. Menurut dia, Sunda Empire terdiri atas enam wilayah yang meliputi Atlantik sebagai pusat ibu kota dunia yang berada di Bandung sebagai titik nol, Sunda Nusantara, Sunda Archipelago, Sunda Eropa, Sunda Pasific dan Sunda Mainland.

Jauh sebelum Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire, pernah ada kerajan-kerajaan “baru” yang muncul di Indonesia, seperti Kerajaan Ubur-ubur dan Gafatar. Masing-masing dari kerajaan tersebut mengiming-iming para pengikutnya akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. 

Hal tersebut jelas membuktikan bahwa sistem pemerintahan sekuler yang kita jalankan ini gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan masyarakatnya. Banyak orang yang tertarik dan bergabung karena sedang mengalami kebuntuan mencari jalan keluar persoalan, sehingga gampang tergiur penawaran yang tidak rasional dan dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk mencari keuntungan materi.

Orang-orang yang tergiur untuk menjadi pengikut bagi kerajaan-kerajaan baru tersebut perlu kita amati. Bisa jadi sikap mereka bukan hanya faktor ketidakpuasan akan masalah sosial yang tengah dihadapi, seperti biaya hidup yang semakin tinggi. Misal naiknya tarif tol, listrik, BPJS dan sebagainya.

Bisa jadi mereka sedang mencari alternatif baru dengan mengikuti kerajaan-kerajaan tersebut. Kita bisa melihat di satu sisi, berbagai kebutuhan pokok makin melambung. Tantangan pergaulan bebas dan kasus korupsi makin mengganas dan merajalela, belum lagi sistem peradilan yang makin tajam ke bawah dan makin tumpul ke atas. Mengkritik penguasa yang berujung pidana membuat rakyat semakin bingung. Jika kepercayaan publik kepada pemerintah semakin menurun, wajar saja apabila rakyat merindukan sistem baru. Hanya saja mereka mungkin masih belum paham akan perlunya ide mendasar dan metode pelaksanaan bagi tegaknya sistem dan tata kehidupan yang baru. Karena itu pula rakyat mudah percaya terhadap iming-iming para pendiri kerajaan baru itu.

Rakyat hampir putus asa atas ketimpangan sosial yang terjadi saat ini, bencana alam beruntun akibat infrastruktur juga maraknya korupsi dan watak oligarki penguasa. Bukan karena rakyat yang tidak mampu untuk bersabar menghadapi semua ini, tetapi mereka sudah lelah dipecundangi, suara mereka hanya didengar pada saat tahun politik, kemudian dilupakan ketika para penguasa tersebut telah terpilih. Dari semua ini, jelas bahwa kehidupan rakyat sedang dalam persoalaan besar.

Tata kehidupan yang dapat mengeluarkan rakyat dari keterpurukan ini adalah tata kehidupan yang dikembalikan kepada sumbernya, yaitu Allah SWT. Sekularisme hidup membuat orang menjadi sakit secara sakit dan jiwa. Sungguh Allah sudah berjanji kepada orang yang beriman dan beramal saleh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Allah telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Allah juga akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Allah akan menukar keadaan mereka dari ketakutan menjadi aman sentosa.*


latestnews

View Full Version