Ilustrasi : viva.co.id
RUPANYA kegemaran mengkafir-kafirkan orang lain di kalangan praktisi bid’ah dan liberal ini bisa ditemukan pada generasi tuanya hingga generasi yang lebih muda. Di masa pra kemerdekaan hingga awal-awal kemerdekaan, para senior dari kalangan praktisi bid’ah ini gemar mengkafir-kafirkan umat Islam yang saat shalat tidak mengenakan sarung, tetapi celana panjang.
Oleh karena itu, bisa dimengerti bila komunitas praktisi bid’ah ini disebut kaum sarungan. Bagi mereka, shalat mengenakan sarung lebih afdhol. Sedangkan celana panjang meski memenuhi syarat menutup aurat tetap dianggap busana penjajah kafir, sehingga pemakainya –kala itu– dicap kafir.
Kemudian di masa reformasi, salah satu unsur pimpinan praktisi bid’ah ini juga gemar mengkafir-kafirkan orang lain meski tanpa ilmu dan hujjah yang sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan, pada hari Rabu tanggal 18 Agustus 2010, sang tokoh ini meluncurkan buku berjudul Koruptor Itu Kafir.
Sosok bernama Malik Madany ini mengatakan, upaya kongkrit memerangi korupsi adalah “harus berani mengkafirkan koruptor”. Oleh karena itu menurut Madany, seharusnya para koruptor digolongkan sebagai kafir berat, karena mereka menganggap harta sebagai Tuhan, walau secara tidak sadar.
Demikian suara lantang dari seorang tokoh kelompok mereka.
Kita memahami, korupsi jelas sebuah kemunkaran yang harus diberantas. Namun, jangan sampai upaya memberantas kemunkaran seperti korupsi itu dengan cara yang menyelisihi ketentuan agama. Apalagi menjadikan agama sebagai hammer untuk mentungi lawan ideologisnya. Pengertian kafir dan cakupannya, sudah jelas. Jagan dipaksa-paksakan menuruti hawa nafsu dengan dalih melawan korupsi.
Korupsi adalah perbuatan tercela, namun mempermainkan agama juga perbuatan tercela. Artinya, kita tidak dibenarkan melawan kemunkaran dengan kemunkaran juga.
Rupanya, sikap mengkafir-kafirkan tadi juga dipraktikkan generasi yang lebih muda lagi, yaitu Zuhairi Misrawi, yang dijuluki intelektual muda NU ini. Menurut Zuhairi Misrawi melalui akun twitternya, “…jika Luthfi Hasan divonis korupsi oleh pengadilan, maka merujuk pada fatwa NU dan Muhammadiyah, Luthfi adalah kafir…”[i]
Kalau benar tindakan korupsi itu sampai menjadikan pelakunya kafir, maka sosok Gus Dur yang saat menjadi Presiden RI pernah dipaksa turun karena terlibat korupsi (Bulog-gate dan Brunei-gate), maka kafirlah sang bapak bangsa versi NU ini.
Kasus Bulog-gate terjadi pada tahun 2000. Sekitar bulan Januari 2000, Doktor Sapuan yang saat itu menjabat sebagai Waka Bulog, ditemui Soewondo, orang kepercayaan Gus Dur. Pada pertemuan itu, Soewondo menyampaikan ‘amanat’ dari Gus Dur (saat itu presiden RI) yang bermaksud menggunakan dana taktis Bulog dalam rangka membantu penyelesaian masalah Aceh.
Kepada Soewondo, Sapuan minta dipertemukan dengan presiden Gus Dur, untuk konfirmasi. Maka, menjelang Idul Fitri, Sapuan dipertemukan dengan sang presiden. Kepada Sapuan, sang presiden menyatakan hasratnya memanfaatkan dana taktis Bulog untuk menyelesaikan masalah Aceh melalui berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Sebagai Waka Bulog Sapuan menjelaskan, bahwa penggunaan dana taktis Bulog diatur melalui Keppres. Namun sang presiden enggan menerbitkan Keppres. Sebagai wakil, Sapuan juga telah melaporkan pertemuannya dengan sang presiden kepada Kabulog Muhammad Jusuf Kalla (MJK). Bahkan MJK pun melakukan konfirmasi kepada sang presiden, seraya tetap menyarankan agar menempuh prosedur melalui penerbitan Keppres.
Saat itu, sang presiden tetap enggan menerbitkan Keppres. Namun, usai libur Lebaran, Soewondo yang menyandang status mentereng sebagai asisten pribadi presiden ini, kembali mendatangi Sapuan. Tujuannya jelas, minta tolong dicarikan pinjaman sebesar Rp 35 milyar, yang akan dikembalikan dalam jangka waktu satu tahun, dengan bunga 18 persen.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Yayasan Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog, Sapuan membuat perjanjian hutang-piutang dengan Soewondo. Karena, saat itu Sapuan yakin peggunaannya adalah untuk menangani masalah Aceh. Apalagi, sang presiden sebelumnya pernah menugasi Bulog untuk turut serta menangani masalah Aceh.
Akhirnya, dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 milyar mengalir ke tangan Soewondo. Namun dari tangan Soewondo dana pinjaman itu tidak mengalir ke Aceh tapi ke sejumlah tempat yang tak sesuai peruntukannya. Antara lain sebesar Rp 10 milyar mengalir ke tangan Teti Sunarti (istri Soewondo). Lima milyar rupiah lainnya mengalir ke tangan Leo Purnomo alias Kie Hau yang menjadi staf AW Air (maskapai penerbangan milik sang presiden). Saat itu, Soewondo juga memiliki saham sebesar 15 pesen di AW Air.
Masih ada lagi: Suko Sudarso (Wakil Kepala Litbang PDI Perjuangan) kecipratan Rp 15 milyar; sedangkan Siti Farika kecipratan Rp 5 milyar. Siti Farika adalah salah satu wanita di sekeliling Gus Dur yang kalah populer dengan Aryanti boru Sitepu yang perselingkuhannya dengan Gus Dur sempat diekspos media massa. Kesimpulannya, dana pinjaman dari Yanatera Bulog, masuk ke kantong orang-orang terdekat sang presiden.
Dalam hal kasus Brunei-gate, sang presiden mengakui bantuan dari Sultan Hassanal Bolkiah sebesar USD 2 juta yang ditujukan untuk Aceh, mengucur ke kantong Haji Masnuh yang menjabat sebagai bendahara pribadi sang presiden (detik.com edisi 8 Juni 2000).
Dari USD 2 juta tadi, sekitar 600 ribu diantaranya telah disalurkan ke Aceh melalui Afdhal Yasin (saat itu anggota DPRD I Aceh) dan Fuadi salah seorang mahasiswa di Aceh. Selebihnya, sekitar 1,4 juta USD belum sempat disalurkan, dan tetap berada di kantong Haji Masnuh.
Kalau presiden partai yang bila terbukti melakukan korupsi layak digolongkan kafir, maka demikian pula seharusnya dengan prilaku korup yang dilakukan mantan presiden NU yang berkesempatan menjadi presiden RI.
Sebagai koruptor yang layak digolongkan KAFIR, maka sang mantan presiden tadi tidak layak dijadikan pahlawan nasional, tidak layak diperlakukan sebagai kyai, ulama, dan sebagainya. Maka, kalau benar ulama NU pernah menerbitkan fatwa bahwa koruptor itu kafir, maka orang pertama yang terkena fatwa tersebut adalah sang mantan presiden NU sendiri. (haji/tede/nahimukar.com)
[i] NU: Luthfi Hasan Ishaaq Kafir, Jika Divonis Terbukti Korupsi
Monday, 04 February 2013 18:43 F. Hadiatmodjo
itoday - Berdasarkan fatwa Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, koruptor adalah kafir. Jika mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, divonis melakukan tindak pidana korupsi oleh pengadilan, maka Luthfi kafir.
Sindiran keras itu disampaikan intelektual muda NU, Zuhairi Misrawi, menanggapi penetapan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka suap impor daging sapi.
“Catat ya, jika Luthfi Hasan divonis korupsi oleh pengadilan, maka merujuk pada fatwa NU dan Muhammadiyah, Luthfi adalah kafir,” kata Zuhairi melalui akun Twitter @zuhairimisrawi.